Kekayaan Bos LVMH Anjlok Parah Sampai Lebih dari Rp242 Triliun

- Bernard Arnault, tokoh penting di balik konglomerasi LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton, kehilangan kekayaan senilai Rp242 triliun pada 2025.
- Penurunan ini disebabkan oleh ketidakstabilan geopolitik global dan adanya kekhawatiran investor terhadap masa jabatan kedua Presiden Donald Trump.
- Pasar barang mewah mengalami penurunan permintaan di Tiongkok dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat, tapi LVMH tetap memperluas ekspansi ke pasar-pasar alternatif.
Jakarta, FORTUNE - Nama besar pada industri barang mewah, Bernard Arnault, tokoh penting di balik konglomerasi LVMH Moët Hennessy Louis Vuitton, dilaporkan mengalami penurunan kekayaan signifikan sepanjang 2025.
Perolehan harta sang miliarder menyusut US$15,1 miliar atau setara Rp242 triliun, sebuah indikasi kuat bahwa sektor yang selama ini dianggap resisten tengah menghadapi berbagai kendala.
Data per 12 April 2025 menunjukkan kekayaan bersih Arnault telah terkikis 8,6 persen sejak awal tahun. Meskipun sempat ada harapan dengan kenaikan harian US$1,91 miliar, trn penurunan ini memperlihatkan betapa rentannya pasar barang mewah terhadap gejolak permintaan dan ketidakstabilan geopolitik global.
Kekhawatiran investor terhadap masa jabatan kedua Presiden Donald Trump diyakini menjadi salah satu faktor pemicu. Dalam kurun waktu 70 hari sejak pelantikan Trump pada 20 Januari lalu, nilai saham LVMH, perusahaan induk dari merek-merek ikonis seperti Louis Vuitton, Dior, TAG Heuer, dan Dom Pérignon, merosot hampir 13 persen.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kinerja indeks CAC 40 Prancis yang justru naik sekitar 3 persen pada periode yang sama. Penurunan tajam ini dipicu oleh antisipasi kebijakan tarif baru yang kemungkinan akan diterapkan oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk Eropa.
Rencananya, Trump akan mengumumkan langkah-langkah perdagangan teranyar pada 17 April mendatang, dan meskipun detailnya belum terungkap, perusahaan-perusahaan barang mewah seperti LVMH sudah bersiap menghadapi potensi dampak negatifnya.
Menariknya, Arnault sebelumnya sempat menyampaikan pandangan positif terkait kembalinya Trump ke Gedung Putih. Ia bahkan menyebut adanya “angin optimisme” di AS dan mengapresiasi sambutan hangat terhadap merek-merek mewah di sana. Namun, realitas pasar saat ini justru menunjukkan arah berbeda.
Kondisi pasar barang mewah secara umum memang tengah mengalami turbulensi pada 2025. Permintaan di Tiongkok, yang merupakan pasar utama bagi industri ini, mengalami kontraksi 22 persen sepanjang 2024. Penurunan ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi yang melanda negara tersebut serta adanya perubahan dalam perilaku konsumen. Para analis pasar mengamati bahwa konsumen Tiongkok kini cenderung lebih berhemat, mengurangi pengeluaran untuk barang mewah, dan beralih ke merek yang menawarkan nilai lebih.
Selain itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat juga turut memperburuk situasi. Bahkan sebelum isu tarif mencuat, para analis telah memberikan sinyal adanya “kejenuhan barang mewah” yang disebabkan oleh tingginya harga dan kurangnya inovasi yang signifikan.
Akibatnya, LVMH bersama dengan sejumlah perusahaan sejenis lainnya terpaksa merevisi target keuntungannya untuk paruh pertama 2025. Meskipun sempat ada sedikit pemulihan pasar setelah Trump menunda pemberlakuan tarif untuk beberapa negara (dengan pengecualian Tiongkok), saham-saham di sektor barang mewah belum sepenuhnya pulih.
Sentimen yang berkembang saat ini menunjukkan meskipun potensi tarif dapat ditunda, tantangan mendasar seperti pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan perubahan preferensi konsumen akan terus menjadi perhatian utama bagi industri barang mewah.
Kendati demikian, LVMH tetaplah pemain kunci dengan posisi yang kuat di sektor ini. Diversifikasi portofolio produk, kekuatan merek yang sudah mapan, serta jangkauan pasar global yang luas memberikan perlindungan terhadap gejolak jangka pendek.
Sebagai langkah antisipasi, perusahaan kini juga aktif memperluas ekspansi ke pasar-pasar alternatif yang menjanjikan seperti Asia Tenggara, India, dan Timur Tengah, sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada pasar utama mereka di Tiongkok dan Amerika Serikat.