Investor Kelas Atas Indonesia Investasi Emas 2 Kali Rerata Global

Jakarta, FORTUNE - Emas menjadi investasi nomor satu para investor kelas atas di Indonesia sepanjang awal 2025. Porsi investasi emas mencapai 25 persen dalam portofolio mereka, 2 kali lebih besar dari rata-rata investor global yang hanya 11 persen
Dalam studi HSBC Affluent Investor Snapshot 2025, yang melibatkan 10.797 investor kelas atas di 12 negara (termasuk Indonesia), disebutkan pula bahwa instrumen terbesar kedua dalam portofolio investor kelas atas di Indoensia adalah uang tunai (19 persen). Itu berarti, sekitar 44 persen dana investasi mereka berada pada kategori aman.
Itu menunjukkan adanya pergeseran signifikan menuju aset safe heaven di antara para investor dengan dana siap diinvestasikan antara US$100.000 sampai dengan US$2 juta (sekitar Rp1,5 miliar sampai dengan Rp30 miliar) tersebut. Aset-aset tersebut tak memberikan pendapatan rutin seperti kupon obligasi, tapi populer ketika banyak orang merasa ekonomi tengah bergejolak.
International Wealth and Premier banking Director HSBC Indonesia, Lanny Hendra, menyebut fenomena tersebut sebagai 'optimisme yang hati-hati'. "Para investor ini optimistis dengan masa depan, tetapi mereka mengambil langkah yang sangat hati-hati dengan aset mereka karena kekhawatiran akan inflasi," katanya.
Ia menambahkan, emas merupakan instrumen tradisional pilihan investor dengan kekayaan signifikan, yang dilihat sebagai cara melindungi nilai uang saat rupiah melemah. Emas dianggap sebagai asuransi bagi portofolio investasi tersebut.
Dalam riset yang sama, disebutkan 2 faktor yang melandasi pergeseran perilaku investasi para investor kelas atas di Indonesia, yakni: kenaikan biaya hidup (84 persen) dan ketidakpastian ekonomi (79 persen).
Kendati demikian, 87 persen dari mereka masih yakin dapat mencapai tujuan finansial dalam beberapa tahun ke depan. Fokusnya adalah mempersiapkan dana untuk kesejahteraan pribadi, persiapan dana pensiun, dan memperoleh kekayaan untuk keamanan finansial. Untuk dana pensiun sendiri, mereka mengestimasikan kebutuhan rata-rata sekitar US$565.000 atau Rp8,8 miliar.
Lanny mengatakan, terlalu banyak mengalokasikan dana investasi di emas dan uang tunai berisiko memperlambat pertumbuhan kekayaan. "Supaya kekayaan bisa tumbuh, dibutuhkan kekuatan compounding, di mana keuntungan yang dihasilkan nantinya akan menjadi modal yang juga akan menghasilkan keuntungannya. Emas tak memiliki fitur itu. Kuncinya, menembukan keseimbangan: melindungi aset sambil memastikan pertumbuhannya lebih cepat dari biaya hidup," jelasnya.
Di sisi akhir 2025, investor disebut sap melangkah lebih jauh dari aset fisik, seperti ke reksa dana. Chief Investment Officer Asia Tenggara dan India, HSBC Private Bank and Premiert Wealth, James Cheo, menyebutkan sejumlah katalis yang dapat mendorong rotasi itu. Dari harapan pemotongan suku bunga The Fed, meredanya ketegangan perdagangan, lonjakan investasi AI, hingga solidnya laba perusahaan-perusahaan.
"Kami memperkirakan pemangkasan suku bunga AS akan dimulai sebelum akhir tahun, diikuti oleh bank-bank sentral utama lainnya. Pergeseran ini diperkirakan akan mendorong permintaan aset berkualitas, mulai dari obligasi peringkat investasi hingga portofolio saham yang terdiversifikasi," kata James Cheo.
Ia menilai, di Asia, ada peluang dari berbagai sektor seperti sektor teknologi, energi ramah lingkungan, dan konsumsi domestik, seiring reformasi struktural dan adopsi digital yang terus mendapatkan momentum.