NEWS

Penyusutan Anggaran Travel Tandai Akhir ‘Revenge Spending’ Liburan

Memburuknya perekonomian global punya pengaruh besar.

Penyusutan Anggaran Travel Tandai Akhir ‘Revenge Spending’ LiburanFour Seasons Hotel George V, Paris
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Masa ‘revenge spending’ liburan disinyalir akan mulai berakhir seiring dimulainya pengetatan anggaran travel masyarakat untuk liburan. Hal ini terjadi seiring berbagai kenaikan transportasi, tarif hotel yang meningkat, dan lonjakan harga di sektor pariwisata yang mulai terasa.

Melansir Bloomberg, Senin (3/4), survei MLIV Pulse pada 465 responden yang berada di Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian negara Eropa, menunjukkan bahwa para traveler saat ini bahkan tak ingin membayar lebih dari US$500 per malam untuk sebuah hotel.

“Hal ini merupakan cerminan dari berkurangnya kepercayaan konsumen atau keluhan bahwa kenaikan harga tidak disertai dengan peningkatan kualitas layanan yang proporsional,” tulis MLIV dalam laporannya.

Sekitar 69 persen dari para responden yang mencakup profesi pedagang, manajer protofolio, sampai manajer dan investor ritel, menyatakan bahwa anggaran maksimum mereka per malam untuk kamar hotel adalah US$500. Sementara, 24 persen bersedia membelanjakan US$1.000, sekitar 5 persen menetapkan batas pada US$2.000, dan 2 persen bersedia menghabiskan US$3.000 atau lebih untuk satu malam di hotel.

Yang menarik, menurut riset ini, kisaran harga yang terbanyak dipilih para penikmat hotel ini tak meliputi ragam hotel termewah atau kamar suite di properti level menengah. Data Google menunjukkan, harga rerata hotel bintang lima di New York City berkisar US$523-US$999 per malam pada bulan April dan Mei. Sementara, di Paris mencapai US$707-US$1.382; bahkan di St. Barts, pada akhir musim semi tarif hotel kelas atas bisa mencapai US$1.451 per malam.

Hasil survei mendapati bahwa pengetatan anggaran yang dilakukan para konsumen tak lepas dari kondisi perekonomian global yang berdampak besar pada ekonomi masyarakat.

Masalah perbankan, inflasi yang makin cepat, tingginya pembayaran hipotek, dan pasar tenaga kerja yang melemah di sektor-sektor berpenghasilan tinggi seperti teknologi, bisa membuat wisatawan berkeras mengendalikan pengeluaran, sekalipun pendapatan mereka sudah mengalami kenaikan.

Penerbangan

Ilustrasi perjalanan luar negeri di masa pandemi.Ilustrasi perjalanan luar negeri di masa pandemi. (Pixabay/geraldfriedrich2)

Bukan hanya tarif hotel, namun para traveler juga fokus pada kenaikan harga tiket pesawat. Sejumlah maskapai penerbangan, seperti Deutsche Lufthansa AG, berupaya menjaga kapasitas mereka, demi meraup turis yang tak terlalu memedulikan harga tiket pesawat untuk bepergian.

Lebih dari separuh investor profesional mengatakan bahwa faktor ekonomi negatif, seperti resesi, akan merusak saham maskapai penerbangan dalam 12 bulan ke depan. Investor ritel lebih optimis, dengan 60 persen memprediksi momentum positif di sektor ini. Sementara, responden Eropa lebih cenderung melihat pendorong positif untuk saham maskapai penerbangan daripada AS dan Kanada.

Temuan lain dalam survei menunjukkan bahwa 62 persen investor profesional dan 56 persen investor ritel mengatakan bakal mengurangi menikmati liburan di tempat wisata sembari bekerja pada tahun ini. Faktor kehadiran menjadi penting kembali bagi para investor, seperti di masa pra-pandemi.

Hanya 10 persen dari responden memilih perjalanan yang lebih ramah lingkungan—bertentangan dengan laporan industri—dan 50 persen mengatakan pengeluaran mereka bahkan telah kembali ke tingkat sebelum pandemi.

Dengan demikian, laporan MLIV Pulse mengindikasikan bahwa fenomena ‘revenge spending’ setelah masa pandemi akan berlalu, khususnya bagi para traveler. Jumlah responden yang akan berlibur di masa liburan berikutnya menyusut di angka 7 persen, dan seperempatnya mengatakan sedang memfokuskan diri pada hal lain. Sedangkan, pada 18 persen yang mengatakan sedang mengurangi pengeluaran, 72 persennya adalah pedagang profesional dan 28 persennya bekerja di sektor ritel.