BPK Ungkap Pemborosan BUMN dan Badan Lain Capai Rp43,35 Triliun

- Catatan itu didapat dari periode semester I-2025.
- Angka pemborosan ditemukan pada berbagai entitas negara.
- BPK mencatat permasalahan kerugian negara, potensi kerugian, serta kekurangan penerimaan.
Jakarta, FORTUNE - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya pemborosan besar pada sejumlah BUMN dan badan lainnya yang mencapai Rp43,35 triliun sepanjang semester I-2025.
Temuan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua BPK, Isma Yatun, dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026, bersamaan dengan penyampaian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I-2025.
Isma menyatakan angka pemborosan tersebut merupakan bagian dari rangkaian temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan penggunaan anggaran pada berbagai entitas negara.
BPK juga menemukan permasalahan kerugian negara, potensi kerugian, serta kekurangan penerimaan dengan nilai total Rp25,86 triliun, yang Rp1,64 triliun di antaranya telah berhasil dikembalikan ke kas negara, daerah, maupun perusahaan saat pemeriksaan berlangsung.
“IHPS juga mencatat peran sentral BPK dalam mendukung penyelamatan keuangan negara sebesar Rp69,21 triliun,” kata Isma Yatun pada acara tersebut, sebagaimana disiarkan pada kanal YouTube DPR-RI, Selasa (18/11).
Temuan tersebut menjadi dasar penguatan pengawasan, terutama terhadap BUMN yang menyerap anggaran besar dan memegang peran strategis.
Dalam upaya memperbaiki tata kelola, BPK turut menegaskan komitmennya mendukung pemberantasan korupsi. Salah satu kontribusinya adalah penghitungan kerugian negara yang mencapai Rp71,57 triliun.
Selain itu, BPK juga mendorong perbaikan lintas kementerian/lembaga/BUMN melalui rekomendasi untuk penyempurnaan kerangka regulasi laporan kinerja pemerintah pusat.
Selanjutnya, BPK juga akan memperkuat pengendalian atas pemanfaatan sisa dana transfer ke daerah dengan mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), guna mendukung proses pertanggungjawaban laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Rekomendasi berikutnya, BPK menilai perlu ada perbaikan kebijakan formula perhitungan kompensasi listrik, termasuk penerapan penyesuaian tarif bagi sedikitnya tujuh golongan pelanggan. Kebijakan ini dirancang menekan beban APBN 2024 hingga Rp23,73 triliun, dengan terlebih dahulu meninjau ulang skema kompensasi berdasarkan kajian komprehensif terkait tarif keekonomian dan biaya pokok penyediaan tenaga listrik.
Selain itu, BPK merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaiki mekanisme penyaluran subsidi LPG tabung 3 kg. Upaya ini ditempuh agar kebijakan tepat sasaran, melalui pemanfaatan basis data kependudukan yang mampu mengidentifikasi penerima subsidi sesuai kriteria.
Isma menekankan bahwa peran DPR sebagai lembaga pengawas sangat penting dalam menuntaskan persoalan lintas sektoral tersebut.
“Kami mengharapkan dukungan penuh dari anggota dewan agar rekomendasi BPK benar-benar mentransformasi akuntabilitas menjadi efektivitas nyata dalam setiap program pemerintah,” ujarnya.
Hingga semester I-2025, tingkat penyelesaian tindak lanjut rekomendasi BPK mencapai 81,7 persen, meningkat dari 79,8 persen pada IHPS II-2024.
Pada periode 2005 hingga semester I-2025, penyetoran uang dan penyerahan aset hasil tindak lanjut pemeriksaan mencapai Rp156,29 triliun, termasuk Rp35,3 triliun dari pemeriksaan selama RPJMN 2020–2024.
IHPS I-2025 juga merekam penyelesaian ganti kerugian negara periode 2005–2024 dengan nilai kerugian yang telah ditetapkan sebesar Rp5,7 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp2,09 triliun telah dilunasi, Rp1,65 triliun dalam proses angsuran, dan Rp41,33 miliar telah dihapus.
Sisa kerugian yang masih harus dituntaskan mencapai Rp1,92 triliun, atau 33,7 persen dari total kasus.
"Kami meyakini bahwa fungsi pengawasan DPR adalah garda terdepan dalam akuntabilitas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan sinergi yang utuh dan komitmen berkelanjutan dari dewan yang terhormat," ujarnya


















