Jakarta, FORTUNE – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Kemanan, Mahfud MD, tetap ngotot untuk berpegang pada pernyataan awalnya mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp349,87 triliun yang melibatkan 491 pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Angka tersebut merupakan data akumulatif dalam rentang 2009–2023.
"Ketika ditanya ke Ibu Menteri [Sri Mulyani] kaget karena enggak masuk laporannya, karena yang menerima surat by hand itu ya orang yang ada di situ," kata Mahfud di hadapan Komisi III DPR RI, Rabu (29/3).
Mahfud mengatakan nominal ratusan triliun rupiah itu terbagi ke dalam tiga kelompok.
Pertama, dari transaksi keuangan mencurigakan ratusan pegawai Kemenkeu dengan nilai Rp35,55 triliun.
"Kemarin Ibu Sri Mulyani di komisi XI menyebut hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun," ujar Mahfud
Kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan 30 pegawai Kemenkeu dan pihak lain yang bernilai Rp53,82 triliun.
Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik TPA dan TPPU yang data keterlibatan pegawainya belum diperoleh. Nilai pada laporan ini mencapai Rp260,50 triliun.
Ada 200 LHA disampaikan langsung kepada Kemenkeu
Selama rentang 2009–2023, Mahfud mengungkapkan ada 200 laporan hasil analisis (LHA) yang telah disampaikan kepada Kemenkeu.
Mahfud, yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), memiliki catatan mendetail tentangnya.
LHA pertama kepada Kemenkeu terkait ini dilayangkan pada 10 Juni 2009, sedangkan laporan terakhir disampaikan pada 11 Januari 2023.
Mahfud juga menyebut ada 100 LHA terkait pajak dan bea cukai, tapi disampaikan kepada penegak hukum lain agar bisa ditindaklanjuti.
Dia mengatakan pada 20 Maret 2023 telah terjadi kesepakatan dengan Menkeu untuk menindaklanjuti LHA. Apabila ditemukan alat bukti terjadinya tindak pidana, maka Kemenkeu harus memproses secara hukum atau diserahkan kepada penyidik lainnya.
Mahfud menyatakan sangat menghormati Sri Mulyani dan mengakui kinerjanya dalam memberantas korupsi. Kekeliruan itu disebut terjadi karena birokrat Kemenkeu tidak yang menyampaikan informasinya secara langsung kepada Sri Mulyani.
"Ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," ujar Mahfud.
Minta dukungan DPR untuk pengesahan RUU Perampasan Aset
Mahfud meminta DPR mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai.
Dia mengatakan kerap terjadi modus TPPU dengan mengambil uang secara tunai dari bank lalu dibawa dan ditukar di Singapura.
"Orang korupsi itu, Pak, menurunkan uang dari bank Rp500 miliar dibawa ke Singapura ditukar dengan uang dolar. Dia bilang ini menang judi karena di Singapura judi sah. Lalu dibawa ke Indonesia sah. Padahal, itu uang negara, Pak. Itu pencucian uang, Pak," ujarnya.
Dia mengatakan pembatasan uang tunai akan membuat transaksi dalam jumlah tertentu dilakukan via bank sehingga tercatat. Menurutnya, kerap terjadi modus tukar koper isi uang di pesawat. "Jangan dari orang bawa koper, satu kopernya isi kertas, satu kopernya isi uang ditukar di atas pesawat. Itu yang banyak terjadi," kata Mahfud.