NEWS

Tak Dilibatkan, Apindo Khawatirkan Ini dalam Perppu Cipta Kerja

Apindo tanggapi Perppu Cipta Kerja yang dirilis Presiden.

Tak Dilibatkan, Apindo Khawatirkan Ini dalam Perppu Cipta KerjaDok. Pribadi

by Eko Wahyudi

04 January 2023

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku tidak dilibatkan dalam lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengaku cukup terkejut dengan terbitnya Perppu rilisan Presiden Joko Widodo tersebut. Dia menilai pelaku usaha sebagai salah satu pemangku kepentingan seharusnya dapat dilibatkan.

“Memang sebaiknya semua pembahasan melibatkan stakeholders terutama yang terkait langsung. Ini kan lucu. Kita yang kasih kerjaan, kita yang berikan gaji tapi tidak diajak bicara. Lucu juga tiba-tiba main putus aja,” katanya dalam konferensi pers yang disiarkan secara virtual, Selasa (3/1).

Penerbitan Perppu Cipta Kerja di luar dugaan, namun dia bilang dunia usaha dapat memahaminya untuk menjamin kepastian berusaha.

Pihaknya mengaku memerlukan waktu untuk memahami aturan yang diumumkan pemerintah pada 30 Desember 2022 ini. Dokumen Perppu memiliki tebal lebih dari 1.000 halaman dan mencakup 10 klaster.

Sorotan Apindo terhadap Perppu Cipta Kerja

Saat ini Apindo secara khusus mencermati substansi Perppu untuk klaster ketenagakerjaan, tanpa mengabaikan klaster-klaster lainnya. 

Dalam klaster tersebut, kata dia, ada dua isu yang mengalami perubahan, yakni mengenai pengupahan dan alih daya.

“Di dalam pengupahan itu ada perubahan yang tadinya perhitungan untuk upah minimum itu didasarkan kepada inflasi, atau pertumbuhan ekonomi, diambil salah satu yang tertinggi. Tapi di dalam Perppu ini, diambil tiga parameter yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu,” ujarnya.

Hariyadi menyebutkan, penentuan upah minimum berdasarkan tiga parameter itu dikhawatirkan tidak mencerminkan gambaran upah minimum sebagai jaring pengaman sosial sebagaimana seharusnya.

“Kalau ini tidak mencerminkan jaring pengaman sosial dan ini cenderung nantinya kenaikannya seperti dulu di PP 78/2015, yang kita khawatirkan itu adalah akan terjadi makin jauhnya supply and demand,” katanya.

Akan ada ketimpangan

Hariyadi menjelaskan kenaikan upah minimum dengan formulasi baru di Perppu akan membuat celah besar antara pasokan dan permintaan tenaga kerja.

“Suplai tenaga kerjanya lajunya tinggi karena rata-rata sekarang sekitar 3 juta per tahun angkatan kerja baru, sedangkan penyerapan atau penyediaan tenaga kerjanya itu semakin menyusut,” katanya.

Menurutnya, jika tren tersebut tidak diubah, angkatan kerja baru akan kesulitan mendapatkan lapangan kerja baru. Mereka yang di sektor informal juga akan semakin sulit masuk ke sektor formal.

Di sisi lain, terkait isu alih daya, Apindo menyoroti soal pembatasan yang justru kontraproduktif dengan kondisi dan upaya Indonesia memanfaatkan bonus demografi.

“Ini menurut pandangan kami juga tidak tepat karena Indonesia membutuhkan lapangan kerja sangat besar. Kalau upaya-upaya dan koridor akses ini dipersempit semuanya, maka kembali lagi: kita tidak punya alternatif yang cukup banyak untuk penyediaan lapangan kerja itu,” ujarnya.

Pelaku usaha mengharapkan nantinya dilibatkan secara aktif dalam penyusunan aturan turunan.