Ekonom Desak Pemerintah Lakukan Koreksi Kebijakan Ekonomi di Tengah Keresahan Publik

- Pemerintah didesak mengubah kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil oleh lembaga riset ekonomi.
- Struktur belanja negara dinilai membebani fiskal dan perlu direformasi agar lebih sehat dan berdampak luas ke masyarakat.
- Transparansi alokasi anggaran sangat penting, sementara realokasi belanja tidak produktif menjadi langkah mendesak untuk meredam keresahan publik.
Jakarta, FORTUNE - Sejumlah ekonom mendesak pemerintah segera melakukan koreksi kebijakan ekonomi secara konkret menyusul gelombang unjuk rasa dan keresahan publik yang meluas. Kebijakan fiskal dan alokasi belanja negara dinilai tidak berpihak pada masyarakat kelas menengah bawah dan justru membebani keuangan negara.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal, menegaskan ada tiga langkah koreksi mendesak yang harus segera dilakukan pemerintah untuk meredam ketidakpuasan publik.
“Ketidakpuasan masyarakat tidak bisa dibiarkan. Pemerintah harus segera melakukan langkah koreksi yang konkret,” kata Faisal dalam diskusi publik virtual, Senin (1/9).
Tiga langkah tersebut meliputi: pertama, membatalkan kebijakan pajak di tingkat pusat dan daerah yang memberatkan kelompok menengah bawah. Kedua, merevisi pemotongan transfer ke daerah yang memicu lonjakan pajak baru. Ketiga, mengubah strategi belanja negara yang dinilai tidak produktif, seperti fasilitas pejabat atau pembentukan lembaga baru.
“Belanja negara dan insentif fiskal seharusnya difokuskan pada program penciptaan lapangan kerja masif dan pengentasan kemiskinan, bukan sekadar bansos yang tidak menyentuh akar masalah,” ujarnya.
Tekanan pada APBN juga datang dari struktur anggaran yang tidak sehat. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyoroti porsi belanja modal yang lebih kecil dibandingkan belanja rutin seperti gaji pegawai dan pembayaran utang.
“Pada 2025, kewajiban utang pemerintah jatuh tempo mencapai Rp800,33 triliun, ditambah bunga utang hingga total Rp1.353,18 triliun. Di sisi lain, penerimaan pajak melambat, sementara kebutuhan anggaran untuk program prioritas sangat besar,” kata Esther.
Oleh karena itu, realokasi anggaran menjadi langkah krusial. Esther mendesak agar anggaran untuk kebutuhan tidak mendesak, seperti penambahan pejabat, lembaga baru, hingga belanja militer, segera dipangkas.
Dana tersebut, menurutnya, lebih tepat dialihkan ke sektor riil penyerap tenaga kerja, serta bidang prioritas seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan riset. Ia juga merekomendasikan penundaan kenaikan pajak yang membebani masyarakat dan penerapan pajak kekayaan bagi kelompok superkaya sebagai instrumen subsidi silang.
“Transparansi alokasi anggaran sangat penting agar masyarakat tidak makin tertekan. Realokasi belanja yang tidak produktif adalah langkah mendesak untuk meredam keresahan publik,” katanya.
INDEF menekankan, jika kebijakan fiskal dan belanja negara tidak segera dikoreksi, jurang ketimpangan dikhawatirkan semakin melebar dan dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.