Pemerintah Targetkan Penerimaan Cukai MBDK Rp3,8 Triliun pada 2025
Kemenkeu pertimbangkan usulan tarif cukai 2,5 persen.
Fortune Recap
- Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) Rp3,8 triliun pada APBN 2025, lebih rendah dari target Rp4,3 triliun pada 2024.
- Kemenkeu masih mengkaji besaran tarif dan jenis produk yang akan dikenakan cukai MBDK, dengan usulan tarif 2,5 persen.
- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga tengah mengkaji perubahan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk mengurangi downtrading dan mempertimbangkan empat hal lain sebelum perubahan tarif dilakukan.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan penerimaan cukai dari minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar Rp3,8 triliun dalam APBN 2025. Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu, M. Aflah Farobi, menyatakan target ini lebih tinggi dari 2024 yang sebesar Rp4,3 triliun.
“Kenapa lebih rendah? Setelah berdiskusi dengan DPR, kami melihat bahwa untuk penerapan Cukai MBDK ini tentunya harus dikaji sesuai perkembangan perekonomian,” ujar Aflah dalam acara Media Gathering Kementerian Keuangan, Kamsi (27/9).
Meski demikian, Kemenkeu masih mengkaji besaran tarif dan jenis produk yang akan dikenakan cukai tersebut. Ini lantaran kebijakan cukai MBDK baru akan ditetapkan pada pemerintahan mendatang. Hanya saja, kata Aflah, sudah ada usulan agar tarif cukai dipatok sebesar 2,5 persen.
"Kemarin memang ada masukan 2,5 persen. Karena ini masih dalam proses pengkajian, yang tarif 2,5 persen itu masuk dalam bahan kajian kita. Jadi belum kita putuskan,” kata Aflah
Tidak hanya terkait cukai terhadap MBDK, Aflah juga menyampaikan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tengah mengkaji perubahan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Pasalnya, kenaikan cukai hasil tembakau sebelumnya telah menyebabkan fenomena downtrading pada produk rokok, yang merekam perilaku konsumen untuk beralih ke produk lebih murah.
“Mengenai cukai hasil tembakau, HJE (harga jual ecerannya) juga sedang masih dikaji apakah akan berpengaruh kepada pengendalian konsumsi dan penerimaan seberapa besar,” ujarnya.
Selain downtrading, pemerintah juga mempertimbangkan empat hal lain sebelum memutuskan perubahan tarif CHT. Pertama, kondisi industri dan petani tembakau; kedua faktor kesehatan dan pengendalian konsumsi; ketiga faktor penerimaan; dan keempat ialah peredaran rokok ilegal.
“Jadi, untuk empat hal ini tentunya kita cari di mana titik optimumnya, termasuk bagaimana pengaruh terhadap penerimaan dan pengendalian konsumennya saat ini masih kami kaji bersama,” jelas Aflah.
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja dengan Kementerian Keuangan pada 10 September lalu, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR mendorong pemerintah mulai menerapkan cukai MBDK untuk mengurangi dampak negatif tingginya konsumsi produk tersebut.
“BAKN merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan cukai MBDK sebesar 2,5 persen pada tahun 2025 dan secara bertahap sampai dengan 20 persen,” ujar pimpinan BAKN DPR, Wahyu Sanjaya.
Selain cukai MBDK, BAKN juga mendorong pemerintah untuk menaikkan CHT jenis sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) minimal 5 persen setiap tahun selama dua tahun ke depan.
Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari CHT dan membatasi kenaikan CHT pada jenis sigaret kretek tangan (SKT) agar mendorong penambahan penyerapan tenaga kerja.