Trump Akhiri Shutdown Terlama, Pemerintahan AS Kembali Berjalan

Jakarta, FORTUNE - Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya menandatangani Rancangan Undang-undang (RUU) pada Rabu (12/11), yang secara resmi mengakhiri penutupan pemerintahan (government shutdown) terpanjang dalam sejarah negeri itu. Krisis fiskal tersebut berlangsung selama 43 hari, membuat aktivitas negara lumpuh total dan ratusan ribu pegawai negeri sipil tidak menerima gaji.
RUU yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dikuasai Partai Republik itu disahkan dengan dukungan mayoritas partai, setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan dari Senat.
Namun, langkah ini menuai kekecewaan dari sejumlah anggota Partai Demokrat, yang menilai pimpinan mereka telah mengalah dalam proses negosiasi anggaran.
Setelah menandatangani RUU di Ruang Oval, Trump menyalahkan Partai Demokrat atas krisis berkepanjangan tersebut, dan meminta publik untuk mengingat situasi ini dalam pemilu paruh waktu mendatang.
“Hari ini kami mengirim pesan jelas bahwa kami tidak akan pernah menyerah pada pemerasan,” ujar Trump, yang didampingi Ketua DPR Mike Johnson dan sejumlah anggota parlemen Partai Republik.
“Seluruh tindakan itu sia-sia. Itu salah dan kejam,” kata Trump, dikutip dari AFP.
RUU baru ini memastikan pendanaan untuk sejumlah lembaga federal termasuk urusan veteran, konstruksi militer, Departemen Pertanian, hingga Kongres. Dengan kebijakan ini, pemerintahan federal akan kembali beroperasi hingga akhir Januari 2026, sementara sebagian program diperpanjang hingga musim gugur.
Sekitar 670.000 pegawai negeri sipil yang sebelumnya dirumahkan akan kembali bekerja, dan pegawai lain yang tetap bertugas tanpa bayaran, termasuk lebih dari 60.000 pengatur lalu lintas udara dan petugas keamanan bandara, akan menerima gaji tertunggak mereka.
Kesepakatan tersebut juga memulihkan posisi pegawai federal yang sempat diberhentikan selama penutupan pemerintahan. Layanan publik dan transportasi udara yang sempat terganggu kini mulai kembali normal.
Meski demikian, Trump menuding Demokrat bertanggung jawab atas kerugian sebesar US$1,5 triliun atau sekitar Rp25 kuadriliun akibat kebuntuan politik ini. Namun, Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan dampak ekonomi sebenarnya jauh lebih kecil, yakni sekitar US$14 miliar atau kisaran Rp234 triliun dalam bentuk hilangnya pertumbuhan ekonomi.

















