- Menyusun regulasi khusus yang mengatur sanksi tegas bagi pelaku robo-call serta menetapkan kewajiban operator.
- Mengimplementasikan teknologi deteksi otomatis dan membangun sistem pelaporan yang aksesibel bagi korban.
- Memperkuat kerja sama internasional dalam memberantas kejahatan siber lintas negara dan berbagi praktik terbaik (best practice).
Ancaman Robo Call dan Fake Call, Pengamat Soroti Urgensi Regulasi

- Ancaman ini merusak kesehatan mental masyarakat dan menguji ketangguhan regulasi digital Indonesia.
- Regulasi lemah dan penegakan hukum yang tidak tegas menjadi akar masalah utamanya.
- Regulasi khusus mesti disusun.
Jakarta, FORTUNE - Indonesia tengah menghadapi tantangan serius di tengah pesatnya transformasi digital. Fenomena robo-call dan fake call kini bukan sekadar gangguan komunikasi biasa, melainkan ancaman multidimensi yang mengintai keamanan nasional serta kesehatan mental masyarakat.
Pengamat keamanan siber sekaligus pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menyatakan gangguan ini menguji ketangguhan regulasi dan ekosistem digital Indonesia. Ancaman ini berpotensi merusak visi Indonesia sebagai negara digital yang inklusif.
“Masyarakat kerap menerima panggilan tak dikenal yang berisi ancaman, penawaran mencurigakan, atau bahkan upaya pencurian data pribadi. Banyak kasus penipuan dan pemerasan melalui telepon yang berujung pada kerugian materi dan trauma psikologi,” ujar Ardi dalam risetnya, Senin (22/12).
Fenomena ini dinilai berdampak sistemik terhadap perekonomian digital. Menurunnya kepercayaan publik dapat menghambat adopsi teknologi baru dan memicu resistensi masyarakat terhadap program digitalisasi nasional.
“Jika dibiarkan, hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi visi Indonesia sebagai negara digital yang inklusif dan aman,” katanya.
Ardi menyoroti lemahnya regulasi dan penegakan hukum menjadi akar utama suburnya robo-call di Tanah Air. Aturan yang ada saat ini dianggap belum mampu menindak pelaku secara tegas, termasuk dalam mengatur tanggung jawab penyedia layanan.
“Apalagi mengatur tanggung jawab operator telekomunikasi yang sering kali abai dalam melakukan verifikasi dan pengawasan,” kata Ardi.
Menurutnya, operator telekomunikasi seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencegah panggilan ilegal. Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak operator belum memiliki sistem deteksi dan pemblokiran yang memadai.
Indonesia didesak mencontoh langkah Amerika Serikat. Di negara tersebut, keberhasilan pemberantasan panggilan ilegal bertumpu pada kolaborasi kuat antara regulator, operator, dan penegak hukum.
“Regulasi yang progresif, sistem pelaporan yang mudah diakses, serta sanksi yang tegas bagi pelaku dan operator yang lalai adalah fondasi utama dalam membangun ekosistem digital yang aman,” ujarnya.
Guna memitigasi risiko, operator telekomunikasi harus didorong mengadopsi teknologi verifikasi nomor dan pemantauan aktivitas panggilan massal. Di sisi lain, edukasi digital bagi masyarakat perlu diperkuat guna mengenali modus penipuan sejak dini.
“Indonesia tidak boleh menunggu hingga korban semakin banyak dan kepercayaan publik terhadap transformasi digital hancur,” kata Ardi.
Sebagai langkah konkret, Ardi menyarankan tiga poin utama bagi pemerintah:


















