Chatbot AI Jadi Teman Curhat Spiritual, dari AS hingga Gereja Korsel

Jakarta, FORTUNE - Era kecerdasan buatan (AI) melahirkan tren baru yang tak terduga: jutaan orang kini memanfaatkan chatbot bukan hanya untuk menjawab pertanyaan sehari-hari, tetapi juga sebagai sarana berbagi keluh kesah hingga mencari arahan spiritual.
Mengutip The New York Times via Ars Technica (22/9), sejumlah aplikasi religi berbasis AI meraih unduhan fantastis. Aplikasi Bible Chat, misalnya, sudah dipasang lebih dari 30 juta kali. Bahkan Katolik Hallow sempat menempati posisi puncak Apple App Store, melampaui aplikasi populer seperti Netflix dan TikTok.
Beberapa pengembang bahkan mengklaim produknya mampu menghadirkan pengalaman “komunikasi ilahi”. Namun pakar menegaskan AI bukanlah entitas spiritual, melainkan sekadar sistem yang mengolah data. "Anda tidak ingin mengganggu pendeta Anda pada pukul tiga pagi," ujar Krista Rogers, pengguna YouVersion Bible dan ChatGPT.
Fenomena serupa juga muncul di Korea Selatan. Dilansir The Strait Times, beberapa startup lokal mengembangkan aplikasi doa berbasis AI, salah satunya Meadow yang dibangun perusahaan Awake. Meadow dapat menyarankan ayat Alkitab dan menyesuaikan doa untuk pengguna berdasarkan persoalan yang mereka ceritakan. Aplikasi ini populer di kalangan umat Protestan muda berusia 20–30 tahun, bahkan mulai menarik minat sejumlah gereja.
Meski begitu, tidak semua pihak menyambut hangat. Sejumlah ahli menyoroti risiko AI bertindak layaknya “yes men”, hanya memberikan jawaban yang ingin didengar pengguna. "AI ini seperti ‘yes men’ atau orang yang selalu berkata ‘iya’ pada apa pun," ungkap Ryan Beck, Chief Technology Officer Pray.com.
Isu privasi juga mencuat. Pendeta Katolik Fr. Mike Schmitz menilai, menuangkan isi hati kepada chatbot bisa berbahaya karena data rohani pengguna tersimpan di server perusahaan. Namun, sebagian orang justru merasa lebih diterima chatbot ketimbang komunitasnya sendiri. Seorang guru prasekolah, Delphine Collins, mengaku mendapat dukungan lebih ketika menggunakan Bible Chat.
Di Korea Selatan, kontroversi serupa mengemuka. Ada kekhawatiran AI akan menggantikan peran pendeta, meskipun sebagian pendeta sudah menggunakannya untuk menyusun khotbah. Survei Ministry Data Institute menunjukkan 20 persen dari 650 pendeta Protestan di Korea Selatan pernah memakai ChatGPT untuk menyusun khotbah, sementara 60 persen mengaku terbantu memperoleh ide.
Fenomena ini tidak hanya terbatas di AS dan Korea. Pada Juni 2023, sekitar 300 orang di kota Furth, Jerman menghadiri ibadah gereja selama 40 menit yang sepenuhnya dipimpin AI. Meski sebagian jemaat menolak membaca doa bersama avatar digital, seorang pendeta yang hadir mengaku terkesan karena hasilnya lebih baik dari perkiraan.
Perkembangan AI juga merambah agama lain. Misalnya HadithGPT, yang menggunakan hadis Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan tentang Islam. Jawaban selalu disertai peringatan bahwa respons dihasilkan AI dan mungkin tidak sepenuhnya akurat. “Ini hanyalah bentuk terbaru dari bagaimana orang mempertimbangkan pendapat mana yang akan diikuti,” kata Jihad Turk, presiden pendiri Bayan Islamic Graduate School di Chicago, mengutip The Strait Times.