TECH

Satya Nadella, Bos Microsoft yang Raih Titel CEO Paling Diremehkan

Satya menolak mentalitas tahu segalanya dalam memimpin.

Satya Nadella, Bos Microsoft yang Raih Titel CEO Paling DiremehkanCEO Microsoft, Satya Nadella. (DOK/Microsoft).
07 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Satya Nadella, Chief Executive Officer (CEO) Microsoft, luar biasa sukses selama memimpin perusahaannya. Alhasil, pria tersebut layak mendapatkan lebih banyak pujian ketimbang yang dia raih saat ini.

Tahun ini, Nadella kembali terpilih sebagai CEO paling diremehkan (the most underrated CEO) menurut jajak pendapat World’s Most Admired Companies yang digelar Fortune. Nadella telah menguasai “titel” tersebut sejak 2017, atau enam kali berturut-turut, demikian Fortune.com, pada Senin (7/2).

Nadella merintis karir di Microsoft pada 1992 ketika dia baru berusia 25. Pada 1999, ia menjadi presiden Microsoft Central, layanan web untuk bisnis kecil, dan pada 2014 menjabat sebagai CEO ketiga Microsoft.

Pria kelahiran India tersebut merupakan lulusan Manipal Institute of Technology, dan berhasil melanjutkan pendidikannya hingga meraih master dalam ilmu komputer dari University of Wisconsin–Milwaukee. Bahkan, Nadella juga meraih gelar Master of Business Administration dari University of Chicago Booth School of Business.

Di luar bisnis, Nadella juga percaya pada kegiatan sosial. Tahun lalu, keluarganya berkomitmen $15 juta atau sekitar Rp214,5 miliar kepada Rumah Sakit Anak Seattle dalam ikhtiar mempromosikan kemajuan dalam penelitian, perawatan kesehatan mental remaja, dan kesetaraan akses perawatan kesehatan.

Menolak status quo dan mengubah budaya Microsoft

Ketika Nadella menjadi CEO, dia meminta para eksekutif Microsoft untuk membaca Nonviolent Communication oleh Marshall Rosenberg. Buku tersebut melarang praktik feedback konvensional seperti kritik dan penilaian, dan justru memberikan instruksi tentang bagaimana memberikan dorongan semangat.

Pria yang kini berusia 54 itu dipandang karena sikapnya yang tenang dan fokus pada feedback positif untuk memperkuat kebiasaan baik dan memotivasi timnya. Dia telah berusaha untuk menciptakan lingkungan nyaman, dan menjelaskan bahwa perilaku agresif tidak akan ditoleransi.

Tak hanya itu, meski Microsoft sebelumnya beroperasi dengan pandangan dunia yang "tahu segalanya”, Nadella menolaknya, dan mempromosikan budaya “pelajari segalanya”.

Demi mewujudkan inisiatif tersebut, ia mengimplementasikan sebuah praktik ketika para peneliti Microsoft membicarakan inovasi mereka. Tujuannya: agar para pemimpin mengetahui kemajuan perusahaan dan mengingatkan mereka untuk berpikir secara futuristik.

Dalam penampilan publik pertamanya sebagai CEO, Nadella mengatakan Microsoft akan sangat fokus pada komputasi seluler dan cloud (mobile and cloud computing)—area bisnis yang perusahaan telah tertinggal. Namun, di balik layar, dia meminta para eksekutif untuk mengesampingkan ego mereka dan berkolaborasi dengan perusahaan teknologi besar lainnya.

Nadella membuat Microsoft kembali cemerlang

Nadella turut menyaksikan bagaimana Microsoft, yang sempat berjaya pada 1990-an, harus menghadapi persaingan ketat dalam industri teknologi. Salah satu tindakan pertamanya adalah merilis Office Productivity untuk iPhone—berkolaborasi dengan pesaing beratnya Apple yang tak pernah terjadi di kepemimpinan sebelumnya. Microsoft pun memperluas layanannya ke sistem operasi lain seperti Linux dan Google.

Nadella juga menempatkan Azure, platform komputasi awan Microsoft, sebagai pusat bisnis, dan sekaligus mengembalikan gelar inovator ke perusahaan. Di sisi lain, dia juga menyadari bahwa upaya ponsel pintar perseroan adalah sia-sia dan karena itu mencabut akuisisi Nokia.

Nadella memimpin perusahaan ke arah baru dengan sejumlah aksi korporasi jumbo. Dia turut mengawasi pembelian LinkedIn pada 2016 sebesar US$26 miliar (Rp317,8 triliun), dan dua tahun berikutnya mengambil GitHub US$7,5 miliar (Rp107,25 triliun) untuk menunjukkan komitmen dalam berbagi perangkat lunak sumber terbuka.

Tahun lalu, Microsoft juga menyelesaikan akuisisi ZeniMax, perusahaan induk Bethesda yang merupakan penerbit gim, untuk mempengaruhi orang agar bermain gim di Xbox dan personal computer. Terhangat, Microsoft juga menyampaikan rencananya mencaplok Activision Blizzard seharga US$68,7 miliar (Rp982,41 triliun). Aksi tersebut akan menjadi penting bagi perusahaan gim terbesar ketiga dan menjadi pijakan akan pengembangan metaverse.  

Nadella juga menyaksikan peningkatan kapitalisasi pasar perseroan dari hanya US$300 miliar menjadi lebih dari US$2 triliun (Rp28.600 triliun). Saat ini, saham Microsoft juga diperdagangkan lebih tinggi dari pesaingnya, seperti Google Alphabet, Apple, dan Meta.

Kelak, dalam pandangan Satya, Microsoft akan terus berinvestasi dalam konten, komunitas, dan cloud berkelas dunia. Menurutnya, data dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan menjembatani dunia digital dan fisik.

Related Topics