Masa Depan Media: AI Ancaman atau Peluang bagi Jurnalisme?

Jakarta, FORTUNE - AI berpotensi mengganggu model bisnis berbagai industri, tetapi dalam dunia jurnalisme, ancaman ini terasa lebih eksistensial. Kepercayaan publik terhadap berita menjadi taruhan utama saat AI generatif mulai berperan dalam produksi informasi.
Para eksekutif media membahas pemanfaatan AI untuk meningkatkan efisiensi, seperti pembuatan judul yang dioptimalkan untuk mesin pencari dan penerjemahan konten guna menjangkau audiens baru. Namun, mereka tetap menekankan perlunya pengawasan manusia untuk memastikan akurasi.
Melansir Fortune.com seorang editor mengungkapkan bahwa AI kini digunakan untuk menyusun artikel pendek dari siaran pers, memungkinkan jurnalis lebih fokus pada laporan investigatif. AI juga membantu dalam menganalisis dokumen pemerintah dan citra satelit untuk mendukung jurnalisme investigatif yang lebih mendalam.
Diskusi mengenai strategi implementasi AI di newsroom berpusat pada dua pendekatan: bottom-up atau top-down. Pendekatan bottom-up memberikan akses langsung kepada jurnalis, sementara pendekatan top-down menempatkan manajemen sebagai pengendali utama.
Pendekatan bottom-up dianggap lebih demokratis dan memberdayakan jurnalis, tetapi juga berisiko menciptakan kekacauan dan kesulitan dalam memastikan kepatuhan terhadap kebijakan etis dan hukum. Sebaliknya, pendekatan top-down lebih terstruktur, tetapi bisa membatasi inovasi dari level bawah.
Kehati-hatian dalam membangun kepercayaan Publik
Sebagian besar organisasi media masih enggan menggunakan AI secara luas untuk produksi konten karena khawatir akan “halusinasi AI” yang dapat merusak kepercayaan publik. Mereka lebih memilih menerapkan AI untuk membuat ringkasan berita atau chatbot bertema spesifik dengan label "eksperimen" guna menghindari kesalahan informasi.
Ketidakpastian ini menimbulkan risiko tersendiri. Jika organisasi berita tidak mengadopsi AI lebih cepat, perusahaan teknologi seperti OpenAI, Google, dan Perplexity akan mengambil alih peran sebagai penyedia informasi. “Disintermediasi”—kehilangan koneksi langsung dengan audiens—menjadi ketakutan utama para eksekutif media.
Ketergantungan pada Google Search juga semakin berisiko. Studi Tollbit menunjukkan bahwa klik untuk hasil pencarian berbasis "AI Overviews" 91 pesen lebih rendah dibandingkan pencarian Google biasa. Hal ini memaksa organisasi berita untuk merespons dengan tindakan hukum, seperti gugatan The New York Times terhadap OpenAI, serta kesepakatan lisensi dengan perusahaan teknologi.
Para pakar menilai bahwa industri media masih terlalu konservatif dalam menghadapi AI. “Industri berita tidak serius menghadapi AI,” kata seorang ahli. “Mereka hanya melakukan adaptasi bertahap daripada transformasi struktural.” Ia menggambarkan pendekatan ini seperti “Ferrari bertenaga AI di kedua ujungnya, tetapi gerobak kuda di tengahnya.”
Solusi yang diajukan adalah melepaskan ketergantungan pada format artikel tradisional dan mengoptimalkan data mentah—wawancara, dokumen, video, dan rekaman audio—ke berbagai format, seperti podcast, video pendek, dan ringkasan berita berbasis AI.
Selain itu, eksekutif media didorong untuk belajar dari sektor lain yang telah lebih dahulu beradaptasi dengan AI. Startup yang didukung oleh organisasi media juga bisa menjadi kunci dalam menciptakan model bisnis baru yang lebih relevan dengan era AI.
Tantangan AI bagi jurnalisme memang besar, tetapi peluangnya juga tak kalah menjanjikan. Jika dimanfaatkan dengan bijak, AI dapat membantu media memperluas jangkauan dan kembali menarik perhatian audiens yang telah kehilangan minat terhadap berita. Namun, hal ini hanya bisa dicapai jika pemimpin industri cukup berani untuk berinovasi dan mendefinisikan ulang masa depan berita di era digital ini.