Awal Mula Prodia: Kisah dari Sebuah Kekeliruan Diagnostik

- Kecemasan akan ketidakakuratan hasil tes darah menjadi pemicu berdirinya Prodia setelah istri salah satu pendiri mengalami plasenta previa.
- Prodia kini memiliki 276 pusat layanan terbesar di Indonesia dengan sistem terintegrasi, menjadi laboratorium klinik tepercaya.
Jakarta, FORTUNE - PT Prodia Widyahusada Tbk dikenal sebagai salah satu pemimpin dalam layanan diagnostik medis di Indonesia. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa laboratorium klinik ini lahir dari sebuah insiden sederhana di Kota Surakarta pada 1973. Kisah ini diceritakan langsung oleh salah satu pendirinya, Andi Wijaya.
Andi adalah satu dari empat pendiri Prodia, bersama Gunawan Prawiro Soeharto, Hamdono Widjojo, dan Singgih Hidayat. Keempatnya memiliki visi yang sama: membangun laboratorium klinik berkualitas yang mampu memberikan hasil diagnosis akurat bagi masyarakat.
Kecemasan akan ketidakakuratan hasil tes darah menjadi pemicu berdirinya Prodia. Saat itu, istri Gunawan, Hetty Lestari, mengalami plasenta previa dan harus menjalani operasi caesar. Karena Solo belum memiliki Palang Merah Indonesia (PMI), rumah sakit membutuhkan pendonor langsung.
Andi, Singgih, dan Hamdono bersedia menjadi pendonor, dengan keyakinan bahwa mereka bukan bergolongan darah O. Namun, hasil pemeriksaan darah menunjukkan semua bergolongan O, sesuatu yang jelas keliru.
Andi yang saat itu merupakan dosen kimia klinik di Universitas Atma Jaya, Solo, mempertanyakan hasil tersebut kepada dokter kandungan Hetty. Jawaban dokter justru menjadi titik balik dalam hidupnya.
“Kamu buka laboratorium klinik saja. Kamu dosen kimia klinik, kamu ahlinya,” demikian kata-kata sang dokter yang ditirukan Andi ketika bercerita kepada Fortune Indonesia. Pada saat itu, Andi memang seorang pengajar di Universitas Atma Jaya, Solo.
Berangkat dari saran spontan tersebut dan dorongan untuk menyediakan layanan laboratorium yang lebih akurat, Andi dan ketiga rekannya mulai merintis Prodia.
Namun, perjalanan tidak mudah. Mereka membutuhkan waktu satu tahun untuk mengumpulkan dana. Dari hasil patungan sebesar Rp45.000 per orang, mereka mengumpulkan Rp180.000 yang kemudian digunakan untuk menyewa paviliun kecil selama lima tahun di Jalan Pasar Nongko No. 83, Solo.
Laboratorium sederhana itu hanya terdiri dari ruang tunggu yang disekat dengan area pengambilan sampel darah. Minimnya fasilitas membuat mereka harus menggunakan peralatan seadanya. Mikroskop yang digunakan berasal dari bekas praktik mahasiswa, sementara wadah vitamin C dosis tinggi dimodifikasi menjadi tabung centrifuge. Meski demikian, semangat mereka untuk memberikan layanan terbaik tetap berkobar.
Saat pertama kali beroperasi pada 7 Mei 1973, pasien pertama Prodia adalah tetangga sebelah klinik yang rutin memeriksa kadar gula darahnya.
Pada bulan pertama, omzet mereka hanya Rp37.500—bahkan tidak cukup untuk menggaji Supinah, perawat senior yang menjadi karyawan pertama mereka. Namun, perlahan, kepercayaan dokter mulai tumbuh. Andi dan Gunawan giat mendatangi dokter-dokter di Solo untuk merekomendasikan layanan laboratorium mereka. Tak butuh waktu lama, omzet meningkat hingga Rp1 juta per bulan.
Nama ‘Prodia’ sendiri memiliki makna mendalam. Menurut Andi, ‘Pro’ berarti ‘untuk’, dan ‘dia’ merujuk pada diagnosis. Namun, seiring waktu, maknanya berkembang menjadi ‘untuk si dia yang bergabung dengan Prodia’, dengan filosofi bahwa kualitas adalah yang utama.
Kini, Prodia tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga menjadi jembatan bagi dokter dan pasien dalam mencari solusi kesehatan yang lebih baik. Dengan keakuratan sebagai landasan utama, Prodia terus berkembang sebagai laboratorium klinik terpercaya di Indonesia.
Posisi Prodia semakin strategis lantaran memiliki jaringan layanan terbesar di Indonesia dengan sistem terintegrasi. Perusahaan itu memiliki 276 pusat layanan (jaringan layanan) yang terdiri dari 153 cabang, 113 point of care, dan mengelola 11 laboratorium dalam rumah sakit yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.