BUSINESS

Kisah Pebisnis Perempuan: Yakin Pada Tujuan Jadi Kunci Kebangkitan

Keyakinan membuat pebisnis bertahan meski alami kejatuhan.

Kisah Pebisnis Perempuan: Yakin Pada Tujuan Jadi Kunci KebangkitanTalkshow dalam peluncuran Women Founders Indonesia, Senin (22/4). (Fortuneidn/Bayu Satito)
23 April 2024
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Sejumlah Pebisnis Perempuan mengungkapkan kisah suksesnya dalam menjalankan usaha. Mereka mengatakan, keyakinan pada tujuan usaha yang dilakukan merupakan kunci kembali bangkit dari kejatuhan bisnis. 

Founder dari produk cokelat asli indonesia, Pipiltin Cocoa, Tissa Aunilla, menceritakan bahwa bisnis yang ia sudah jalani selama 11 tahun bersama sang Adik, Irvan Helmi, sempat mengalami titik terendah bisnis setelah dua tahun mendirikan bisnis pada 2013.

“Konsep Avant Garde (pelopor) yang aneh-aneh dan progresif (untuk bisnis cokelat) mungkin belum waktunya, sehingga kami mengalami kerugian secara bisnis,” katanya dalam acara Women Founders Indonesia, Senin (22/4).

Padahal, selama enam bulan pertama, kafe khusus cokelat yang dibangunnya selalu waiting list, namun lama kelamaan mereka kembali ke kafe yang mereka beri konsep ‘Avant Garde’ tersebut. Akhirnya, mereka pun tak menyerah dan bangkit kembali, karena visi yang kuat dan menyatu dengan keteguhan hati mereka di bidang bisnis yang ditekuni.

“Makanya, saya tidak percaya kalau semua orang harus jadi founder. Kita bisa jadi apapun asalkan hati kita ada di situ (bidang yang dipilih). Kalau hati kita ada di situ, kita akan memberikan semua daya dan upaya yang kita miliki, untuk mencapai tujuan kita. Kalau kita punya sense of purpose, kita pasti nyari cara untuk terus maju dan itu yang bikin bertahan,” ujar Tissa.

Akhirnya, fokus utama yang tadinya berupa sebuah kafe dengan spesifikasi cokelat premium, kini beralih pada produk cokelat. Perusahaan yang didirikan pun mulai berekspansi dengan menerapkan strategi untuk memasukkan produk Pipiltin di hotel, supermarket, dan membuka cabang di dalam pusat-pusat perbelanjaan.

Kini, Pipiltin Cocoa sudah memasok cokelat asli Indonesia secara premium dengan harga 40-50 persen di atas harga pasar–dari enam wilayah, mulai dari Aceh, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Flores, sampai ke Papua Barat.

Tak hanya untuk konsumen dalam negeri, perusahaan juga mengimpor ke sejumlah negara seperti Jepang dan Singapura. Bahkan, Tissa dan Irvan bisa memberdayakan para petani cokelat lokal untuk kehidupan yang lebih baik.

Akibat Covid-19

Berbeda dengan Tissa dengan kisah bisnis komoditas cokelatnya, co-founder sekaligus CEO dari Sababay Winery, Evy Gozali, menceritakan bahwa dirinya juga pernah mengalami kejatuhan pada bisnis minuman anggur (wine) lokal yang ia tekuni.

Perusahaan mengalami penurunan penjualan signifikan akibat pandemi Covid-19, karena sebagian besar produknya disalurkan ke berbagai bisnis hotel dan restoran yang memang terhenti di masa itu.

“Pada masa Covid, semua bisnis di Bali dan Jakarta–yang jadi pasar utama–itu tutup semua. Account receivable ditunda semua, dan selama dua tahun itu saya cuma mengurutkan payment biar uang untuk operasionalnya cukup, karena buat botolnya saja kami masih harus impor, meskipun bahan baku utama anggurnya semua lokal,” ujar Evy dalam acara yang sama.

Perusahaan kian tersungkur usai pendiri utama yang merupakan ibunda dari Evy, Mulyati Gozali, sempat sakit. Hal ini memperparah kas perusahaan kala itua berjalan dengan konsep Business to Business (B2B). “Hotel tutup, payment tutup, manajemen pun entah kemana, termasuk sistem bisnis yang sangat perlu diperbaiki,” katanya.

Akhirnya, Evy pun memfokuskan penyaluran dana untuk operasional bisnis dulu, khususnya gaji para pegawai. Ia menyadari bahwa cash flow menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kondisi bisnis di ekosistem yang serba tak menentu, bahkan lebih daripada hasil penjualan itu sendiri. Perusahaan pun semakin fokus meningkatkan komponen lokal dalam bisnis wine yang dijalani.

“Tapi, sama seperti Tissa, pada akhirnya, keyakinan kita pada bisnis yang dijalankan adalah kunci yang bisa membuat kita bertahan dalam berbagai kondisi. Ini seperti panggilan bagi Anda untuk melakukan bisnis wine ini secara benar dari dalam hati,” ujar Evy.

Cinta dan rasa marah

Kisah lainnya datang dari Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi dan Dewan Penasihat Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Gita Syahrani. Baginya, titik terendah bisnis yang ia jalankan dialami pada masa pendemi Covid-19 dan masa-masa menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Bisnis yang dijalankan ini menurutnya sangat bergantung pada komitmen para pemimpin di daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya masing-masing. Perusahaan yang ia dirikan sudah mengalami pasang surut ini di tiga era kepemimpinan, mulai tahun 2017, 2020, dan kini 2024. “Jadi pilihlah pemimpin yang bisa ramah lingkungan dan ramah sosial,” katanya.

Gita mengatakan bahwa rasa cinta dan ‘marah’ menjadi modal penting untuk bisa terus bangkit dan berbuat lebih baik. Hal ini akan membuat para pebisnis bisa bertahan dan terus mengembangkan bisnisnya meski iklim usaha sedang tidak mendukung target yang ditetapkan.

Dengan keyakinannya pada usaha untuk membangun jaringan ekonomi di banyak daerah, Gita menemukan bahwa investasi yang ia tanamkan bukanlah pada pemimpinnya semata, namun juga para birokrat yang bekerja di daerah, sekaligus para pengusaha dan profesional dalam usia produktif. “Mereka inilah yang justru akan menjaga daerah mereka bisa terus maju secara inovatif dan berkelanjutan,” ujarnya.

Kini, usaha Gita yang merupakan seorang aktivis lingkungan, untuk menjembatani industri, pemerintah, dan masyarakat, terkait pembangunan yang ramah lingkungan dan ramah sosial, semakin tersebar luas hingga sembilan Kabupaten utama, di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu, ada 79 daerah yang sudah berkomitmen ke dalam perencanaan pembangunan jangka panjang yang diinisiasi Membumi.

Related Topics