BUSINESS

Tantangan Valuasi Kekayaan Intelektual dalam PP Ekonomi Kreatif No.24

Kekayaan intelektual bersifat intangible.

Tantangan Valuasi Kekayaan Intelektual dalam PP Ekonomi Kreatif No.24Ilustrasi studio rekaman. (shutterstock/PriceOfLove)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf, menilai valuasi nilai kekayaan intelektual masih jadi tantangan dalam implementasi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 Tahun 2022 Tentang Ekonomi Kreatif.

Oleh karena itu, penjaminan produk kekayaan intelektual untuk pengajuan pembiayaan  ke bank maupun lembaga jasa keuangan non-bank, belum bisa langsung diterapkan.

“PP ini harus punya ketentuan-ketentuan teknis. Harus melibatkan banyak pihak, seperti lembaga keuangan, penilai (evaluator), dan yang paling utama melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kenapa? Karena dalam daftar jaminan yang diakui oleh OJK, jaminan intangible (aset tidak berwujud atau aset yang tidak bersifat fisik) tidak termasuk, jadi poin ini harus dimasukkan dulu,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Rabu (20/7).

Triawan mengapresiasi upaya pemerintah dalam membuat terobosan untuk sektor ini. Namun, perjalanan dari pembentukan ekosistem pinjaman dengan obyek jaminan kekayaan intelektual–seperti karya seni–masih panjang.

“Ini harus diikuti oleh diskusi-diskusi konstruktif, bukan hanya oleh para pelaku seni, namun juga asosiasi evaluator atau jasa penilai, dan diikuti perubahan di OJK,” kata ayah dari musisi Sherina Munaf ini.

Kekayaan intelektual bersifat intangible

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf.Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf. (dok. Pribadi)

Triawan mengutarakan bahwa kekayaan intelektual yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsa, seperti karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, bersifat intangible.

“Selama ini, valuasi yang dilakukan oleh jasa penilai itu kayak properti, barang, yang semuanya tangible (bisa dilihat fisiknya). Kalau kekayaan intelektual bagaimana menilainya? Apakah reputasi si penciptanya, atau kontrak-kontrak royalti yang pernah diterima sebelumnya, yang bisa dikatakan bernilai tetap,” kata Triawan. “Ini masih panjang, jangan buru-buru, gitu.”

Sebagai tambahan, saat ini penggunaan sertifikat HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai jaminan belum bisa terwujud karena masih terdapat tantangan pada mekanisme pengikatan jaminan HAKI. Hal ini belum diatur secara eksplisit dari regulator.

Terobosan yang menarik

Ilustrasi Studio rekaman.Ilustrasi Studio rekaman. (Shutterstock/Gorodenkoff)