BUSINESS

Kelak ASEAN Sumbang 40 Persen Permintaan Baja Dunia pada 2030

Perekonomian ASEAN bakal sangat menjanjikan.

Kelak ASEAN Sumbang 40 Persen Permintaan Baja Dunia pada 2030Chairman South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) Silmy Karim saat sambutan di SEAISI 2022 Mega Event and Expo di Malaysia, Jumat (18/11). (Dok. KS)
by
18 November 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - ASEAN telah memainkan peran penting dalam perekonomian dunia saat ini. Tolok ukurnya adalah secara agregat ekonomi negara-negara Asia Tenggara itu US$3,2 triliun atau terbesar kelima dunia. Pada 2030, kelak menjadi terbesar keempat. Chairman South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI), Silmy Karim, mengatakan sekarang menjadi waktu strategis bagi organisasi tersebut untuk berkiprah di tengah krisis keuangan global.

“Sebagai asosiasi yang mewakili regional di Asia Tenggara, kita patut gembira bahwa permintaan baja ASEAN di tahun 2030 diproyeksikan memberikan kontribusi 40 persen dari permintaan baja global. Ini adalah sebuah peluang baik bagi produsen baja di Asia Tenggara,” kata Silmy saat membuka acara SEAISI 2022 Mega Event and Expo di Malaysia, Jumat (18/11).

Acara tersebut mempertemukan ketua asosiasi dan profesional industri baja kawasan, dan membahas serta memberikan resolusi atas isu-isu industri baja dalam cakupan regional. Silmy menyebut PDB dari lima ekonomi terbesar ASEAN akan tumbuh 4,3-4,4 persen pada 2022, mengutip IMF, Japan Center of Economic Research (JCER) dan Nikkei Asia.

Dia mengatakan ekonom lain memprediksi rata-rata pertumbuhan ekonomi negara ASEAN 5 persen: Indonesia Indonesia tumbuh 5,1 persen, Malaysia 6,9 persen, Filipina 6,5 persen, Singapura 3,8 persen, dan Thailand 3,2 persen.

Permintaan baja ASEAN meningkat

World Steel Association meramalkan permintaan baja ASEAN pada 2022 mencapai 76,1 juta metrik ton, atau naik 4,8 persen dari 72,6 juta metrik ton pada 2021. Akan hal proyeksi SEAISI, permintaan baja ASEAN diperkirakan akan mencapai 80,8 juta metrik ton. ASEAN kini masih menjadi net importer baja karena peningkatan jumlah impor baja tahunannya.

Sosok yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk ini mengemukakan perkiraan bahwa lebih dari 46 juta metrik ton kapasitas produksi baja rencananya diinvestasikan di ASEAN. Ihwal investasi ini, Cina menjadi yang terbesar dengan sumbangan 41 juta metrik ton kapasitas produksi baja dalam periode hingga 2030.

“Hal ini akan menurunkan gap supply-demand baja dan impor baja sebesar 35-44 persen di tahun 2030,” ujar Silmy.

Menurut data World Steel, produksi baja dunia telah meningkat 10 kali lipat sejak 1950. Khusus wilayah ASEAN, produksi baja mentahnya naik 2,7 kali lipat menjadi 32 juta metrik ton selama satu dekade hingga 2021.

Pada saat bersamaan, produksi bahan baku baja pig iron juga naik mencapai 23 juta metrik ton hingga periode 2021.

“Produksi baja yang diperkirakan tumbuh 1 persen setiap tahunnya selama 30 tahun ke depan ini akan mencapai jumlah produksi baja sebanyak 2,2-2,4 miliar metrik ton di 2050. Sedangkan produksi baja mentah Cina akan mencapai puncaknya di periode 2020-2030. Jumlah ini harus kita perhitungkan penyerapannya di masing-masing negara,” ujarnya.

Permintaan baja rendah karbon diprediksi meningkat

Usai pandemi, perubahan bakal disusulkan oleh pergeseran iklim dunia, perkembangan teknologi, atau perubahan sosial ekonomi, pun geopolitik. Produsen baja dunia tidak lagi bisa mengabaikan dekarbonisasi, net zero emision, hingga pengembangan green steel.

Permintaan baja rendah karbon diperkirakan mencapai 25 persen pada 2040. Indonesia termasuk dalam negara kedua yang menerapkan dekarbonisasi dengan kisaran target 32 persen pada 2030 setelah Malaysia dengan kisaran target 45 persen.

“Ke depan, industri baja akan menyesuaikan dengan pengembangan industri baja ramah lingkungan, industri baja yang berbasis teknologi digital, maupun industri baja yang mengusung green steel industry. Ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk menyelesaikan masalah emisi karbon tanpa mengurangi efisiensi biaya dan produktivitas pada saat yang bersamaan,” ujarnya.

Related Topics