BUSINESS

Masih Dikaji BPKP, Pembengkakan Anggaran KCJB Rp113 T Belum Final

PT KCIC masih terus berkoordinasi dengan semua pihak.

Masih Dikaji BPKP, Pembengkakan Anggaran KCJB Rp113 T Belum FinalANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj

by Eko Wahyudi

08 February 2022

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Dwiyana Slamet Riyadi, menyatakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tengah mengkaji perhitungan perubahan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta – Bandung (KCJB).

“Kami masih berproses, biaya mana yang akan diefisienkan. Kami melakukan negosiasi dengan beberapa mitra agar cost overrun itu bisa diturunkan,” kata Dwiyana di hadapan Komisi V DPR RI, Senin (7/2).

Biaya awal pembangunan KCJB adalah US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,5 triliun. Namun, di tengah pembangunan, ada perkiraan kenaikan anggaran US$1,9 miliar atau lebih dari Rp27 triliun menjadi US$8 miliar. Total pembengkakan diperkirakan mencapai Rp113,5 triliun.

Penyebab cost overrun KCJB

Pembengkakan biaya kereta cepat, kata Dwiyana, terjadi karena pelbagai faktor. Pertama, kebutuhan biaya pengadaan lahan kereta cepat meningkat, baik untuk trase equipment maupun relokasi fasilitas sosial, fasilitas umum, dan saluran udara tegangan tinggi (SUTT).

Relokasi lahan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang semula dihitung 200 bidang atau titik menjadi 600 titik. Kenaikan kebutuhan pembebasan lahan itu mencapai 16 persen dari perhitungan anggaran sebelumnya.

Faktor lainnya adalah eskalasi harga karena kenaikan upah minimum regional (UMR) hingga inflasi. “Dalam kontrak, (KCIC) mengakomodasi eskalasi harga untuk barang-barang material dan tenaga kerja dalam negeri. Itu tidak dihitung dari awal, makanya menjadi bagaian dari cost overrun,” ujar Dwiyana.

Apakah ada perubahan komposisi saham KCJB?

Dwiyana mengatakan berpengaruh tidaknya kenaikan biaya proyek (cost overrun) terhadap kepemilikan saham di PT KCIC bergantung diskusi di shareholder dan stakeholder terkait. Sebab, dari segi ekuitas, konsorsium BUMN Indonesia maupun konsorsium badan usaha Tiongkok Beijing Yawan HSR Co.Ltd telah menyetorkan modal.

Cost overrun pasti akan diambilkan terlebih dahulu dari equity. Lalu, jika memang kedua belah pihak tidak sanggup, maka akan dicarikan alternatif pendanaan dari luar.  “Ini yang mungkin akan terjadi dinamika pada saat terkait dengan cost overrun apakah kepemilikan sahamnya tetap seperti sekarang atau berubah,” jelas Dwiyana.

Porsi kepemilikan saham saat ini terdiri dari BUMN Indonesia 60 persen, dan konsorsium Tiongkok 40 persen.