BUSINESS

Nilai Ekonomi Rp750 T, Pemerintah akan Fokus Hilirisasi Industri Sawit

Indonesia punya potensi yang besar dalam hilirisasi sawit.

Nilai Ekonomi Rp750 T, Pemerintah akan Fokus Hilirisasi Industri SawitPekerja memanen tanda buah segar kelapa sawit. ANTARA FOTO/Syifa
by
21 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Kementerian Perindustrian (Kemeperin) memproyeksi nilai ekonomi sektoral industri perkelapasawitan dari hulu sampai hilir mencapai Rp750 triliun per tahun, di mana Rp300 triliun disumbang dari devisa ekspor.   Ketersediaan bahan baku industri yang melimpah, dimana produksi Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO) mencapai 52,14 juta ton pada tahun 2020, membuat Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan produk hilir turunan minyak sawit.

“Angka ini belum termasuk multiplier effect dari sektor penunjang jasa industri sampai jasa terkait lainnya yang timbul karena keberadaaan industri perkelapasawitan di seluruh Indonesia,” kata Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika dalam keterangannya, Kamis (21/10).

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa merupakan potensi pasar yang sangat besar untuk produk hilir minyak sawit pangan, personal wash, personal care, hingga biofuel. “Indonesia berpredikat sangat unggul pada supply and demand minyak sawit dunia,” ujar Putu.

Oleh karenanya, Putu menuturkan, Kemenperin akan fokus menjalankan kebijakan hilirisasi industri berbasis minyak sawit. Upaya strategis ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal sekaligus mendorong masuknya investasi dan pendalaman struktur manufaktur dalam negeri.

Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit di dunia pada tahun 2045. Hal ini juga akan membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global. Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor komoditas ini di kancah global sebesar 55 persen.

Rasio ekspor olahan produk sawit meningkat

Indikator keberhasilan hilirisasi industri minyak sawit dalam negeri adalah ratio volume ekspor antara bahan baku (CPO/CPKO) dibandingkan produk olahan. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Pada kurun waktu 2016 – 2020, ratio volume ekspor bahan baku dengan produk olahan berada di tingkat 20 persen dan 80 persen. Sedangkan tahun 2021, hingga Agustus ini rasio volume ekspor meningkat menjadi 9,27 persen dan 90,73 persen.

“Saat ini, lebih dari 160 ragam jenis produk hilir olahan minyak sawit telah mampu diproduksi di dalam negeri, di antaranya untuk keperluan pangan, fitofarmaka, bahan kimia (oleokimia), hingga bahan bakar terbarukan (biodiesel). Angka ragam jenis ini mengalami peningkatan yang signifikan dari ragam jenis pada tahun 2011 yang hanya mencapai 54 jenis produk saja,” tambahnya.

Di masa pandemi Covid-19, kata Putu, produk oleokimia Indonesia juga diminati konsumen global sebagai bahan sanitasi. Hal ini berdampak pada kinerja ekspor produk personal wash pada periode Januari-Mei 2021 yang tumbuh sebesar 10,47 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Volume ekspor selama lima bulan tahun ini mencapai 1,64 juta ton atau senilai US$1,53 miliar.

“Pencapaian sektor industri hilir ini perlu diapresiasi dengan dua sudut pandang, yaitu ekonomi dan kontribusi pada kemanusiaan global karena produk oleokimia sabun/personal wash digunakan oleh penduduk dunia untuk memutus persebaran virus SARS-COV-2 penyebab Covid-19,” tuturnya.

Tarif pungutan ekspor jadi strategi dorong hilirisasi

Selain itu, Putu menekankan bahwa langkah Kemenperin untuk mengadvokasi penentuan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO dan turunannya merupakan strategi dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Sejak tahun 2011, Kemenperin konsisten dalam mengusulkan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya secara progresif sesuai rantai nilai industri dan harga CPO internasional sebagai harga referensi bulanan.

“Struktur pentarifan tersebut dinilai lebih pro-industri pengolahan,” kata Putu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai Tarif Pungutan Dana Perkebunan, yaitu PMK No. 133/2015 juncto PMK 76/2021 dan PMK tentang Tarif Bea Keluar yaitu PMK No. 128/2011 juncto PMK No. 166/2020.

Related Topics