Imbas Kebijakan Tarif Impor, Mayoritas Mata Uang Asia Tertekan

- Nilai tukar rupiah melemah 0,7 persen ke level Rp16.578 per dolar AS pada Jumat (28/2), menyentuh titik terendah sejak April 2020.
- Mayoritas mata uang Asia menghadapi tekanan akibat kebijakan perdagangan AS dan ketidakpastian terkait arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat.
- Bank Indonesia mengintervensi pasar demi menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing serta menjaga kepercayaan pasar, tetapi hal ini memunculkan perdebatan mengenai independensi Bank Indonesia.
Jakarta, FORTUNE – Nilai tukar rupiah melemah 0,7 persen ke level Rp16.578 per dolar AS pada Jumat (28/2), sehingga menyentuh titik terendah sejak April 2020.
Econom KISI AM, Arfian Prasetya Aji, mencermatinya sebagai bagian dari efek kebijakan tarif impor dari Kanada dan Meksiko yang mulai berlaku pekan ini.
Mayoritas mata uang Asia juga menghadapi tekanan akibat kebijakan perdagangan AS serta ketidakpastian terkait arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat alias Fed. Faktor domestik, termasuk kebijakan ekonomi terbaru, turut meningkatkan sentimen negatif di kalangan investor, yang tecermin pada arus keluar modal sebesar Rp10,33 triliun dalam sepekan terakhir.
Menanggapi kondisi ini, Bank Indonesia (BI) mengintervensi pasar demi menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing serta menjaga kepercayaan pasar.
Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto, menyatakan langkah ini bertujuan memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian global yang meningkat.
Di samping kebijakan tarif impor, terdapat sentimen global yang berpengaruh pada kondisi pasar Indonesia, seperti penolakan pembeli batu bara Cina terhadap implementasi harga batubara acuan (HBA) yang baru.
Dengan penolakan tersebut, eksportir batu bara Indonesia meminta masa transisi selama enam bulan untuk mengakomodasi perubahan ini, mengingat sosialisasi dan implementasi kebijakan dinilai terlalu cepat.
“Penetapan HBA bertujuan untuk memberikan Indonesia kontrol lebih besar atas harga ekspor batu bara serta menjaga stabilitas harga domestik,” ujar Arfian dalam risetnya yang dikutip Kamis (6/3).
Namun, kebijakan ini berpotensi menghambat permintaan dari Cina, dengan kemungkinan adanya pembatalan atau renegosiasi kontrak oleh pembeli. Jika hal ini terjadi, maka dampaknya dapat berujung pada penurunan volume ekspor dan pendapatan dari sektor batu bara Indonesia.
Pada sektor perumahan, Arfian mengungkit dukungan Bank Indonesia atas program perumahan terjangkau yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan menyediakan likuiditas Rp130 triliun.
Bank Indonesia menegaskan dukungan ini sejalan dengan kebijakan makroekonomi yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta memungkinkan kesejahteraan masyarakat melalui sektor perumahan.
Peningkatan likuiditas pada sektor perbankan diharapkan mampu mempercepat penyaluran kredit ke sektor perumahan, yang memiliki efek berantai terhadap berbagai industri seperti semen, baja, bahan bangunan, serta tenaga kerja konstruksi.
Namun, kebijakan ini juga memunculkan perdebatan mengenai independensi Bank Indonesia. Beberapa investor menilai keterlibatan bank sentral yang terlalu dalam dalam kebijakan pemerintah dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai otoritas moneter independen.
Arfian menilai jika kekhawatiran tersebut berlanjut, potensi arus modal keluar bisa meningkat, yang pada akhirnya dapat berdampak pada stabilitas sektor keuangan dalam negeri.