Maya Watono dan Upaya Transformasi Pariwisata Bersama InJourney

- InJourney berkomitmen untuk menyebarkan arus wisatawan ke destinasi lain di luar Bali.
- Maya menekankan pentingnya pengembangan destinasi baru dengan pendekatan terintegrasi dan peningkatan konektivitas.
Jakarta, FORTUNE - Sejak November 2024, Maya Watono menempati posisi puncak sebagai Direktur Utama PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney. Sebagai CEO perempuan termuda pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Maya diharapkan membawa semangat baru dalam transformasi industri pariwisata dan aviasi Indonesia.
Baginya, membangun ekosistem bisnis pariwisata yang kuat bukan hanya soal mengenali potensi negeri ini, tetapi juga menerjemahkannya ke dalam langkah konkret agar berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pariwisata berkelanjutan bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak.
"Jika kita ke Jepang, kita bisa menikmati Tokyo, Osaka, Hokkaido, dan Kyoto. Di Prancis, ada Paris dan Marseille. Tapi kalau ke Indonesia, yang terkenal hanya Bali," kata Maya kepada Fortune Indonesia di kantornya pada awal Desember lalu.
Ia menyoroti fakta bahwa Bali kini telah memasuki fase over-tourism dan perlu dilindungi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah kunjungan wisata ke Pulau Dewata pada periode Januari–Oktober 2024 telah mencapai 5,3 juta, melampaui periode yang sama pada 2019.
Eks Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, bahkan pernah menyatakan daya dukung Bali sebenarnya cukup untuk menampung 7 juta wisatawan. Namun, wilayah Bali Selatan sudah mengalami kelebihan kapasitas, sehingga perlu distribusi wisatawan ke Bali Utara dan Bali Barat.
InJourney berkomitmen menyebarkan arus wisatawan ke destinasi lain di luar Bali. Apalagi, perseroan menargetkan 14 juta wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia. Hingga Oktober 2024, jumlah wisatawan yang datang telah mencapai 11,56 juta, mendekati total kunjungan pada 2023 sebesar 11,68 juta.
Maya menegaskan Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan Bali sebagai daya tarik utama. Destinasi-destinasi baru harus dikembangkan dengan pendekatan terintegrasi, mulai dari pengembangan produk wisata, peningkatan konektivitas, hingga strategi branding yang tepat.
Lima destinasi pariwisata superprioritas—Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang—menjadi contoh utama dalam rencana ini.
"Kita tidak bisa hanya fokus pada quality tourism; kita harus mencari value tourism. Nilai itu datang dari peningkatan belanja dan lama tinggal wisatawan," kata Maya. "Kalau wisatawan lebih banyak berbelanja dan tinggal lebih lama, dampaknya terhadap ekonomi akan jauh lebih besar."
Sebagai contoh, InJourney telah mengembangkan kawasan strategis di Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang memiliki luas 1.200 hektare. Kawasan ini menunjukkan bagaimana bisnis bisa berkembang pesat melalui pelibatan investor lokal dan asing.
"Begitu 1-2 hotel berdiri, hotel-hotel lain akan ikut berkembang. Begitu ada restoran, yang lainnya akan mengikuti. Harus ada katalis," ujarnya.
Aksesibilitas menjadi elemen penting dalam strategi InJourney. Tanpa konektivitas yang baik, destinasi wisata yang indah pun sulit dijangkau wisatawan. Maya menyoroti tingginya biaya penerbangan ke Lombok sebagai kendala yang perlu diatasi. Untuk itu, ia mendorong opsi transportasi lain seperti kapal cepat yang lebih ekonomis.
"Harus ada sinergi antara laut, darat, dan udara. Kita tidak bisa hanya mengandalkan satu moda transportasi saja," ujarnya.
Pembangunan konektivitas ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, BUMN, maupun swasta. Pasalnya, pengembangan destinasi wisata membutuhkan waktu panjang. Maya mengingatkan pembangunan Bali sebagai destinasi wisata unggulan tidak terjadi dalam semalam, melainkan melalui proses panjang selama lebih dari 40 tahun.
"Membangun suatu destinasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak bisa terjadi dalam 1-2 tahun. Ini butuh upaya berkelanjutan dan inisiatif strategis yang tepat," kata Maya.