Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Permintaan Barang Anjlok, PMI Manufaktur RI Mei Masih Terkontraksi 

perusahaan makanan terbesar di dunia
ilustrasi pabrik makanan (unsplash/arno senoner)
Intinya sih...
  • PMI Manufaktur RI Mei masih terkontraksi di level 47,4, meskipun naik dari April yang berada di level 46,7.
  • Kinerja industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan karena merosotnya permintaan baru dalam waktu hampir empat tahun belakangan.
  • Pelaku industri masih percaya diri di tengah masa sulit saat ini dan menambah jumlah tenaga kerja untuk antisipasi pemulihan permintaan.

Jakarta, FORTUNE - Industri manufaktur dalam negeri masih mengalami tekanan di tengah dinamika ekonomi global dan banjirnya impor produk jadi di pasar domestik. Hal ini tercermin pada capaian Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Mei 2025  yang masih berada dalam fase kontraksi di level 47,4.  Meskipun demikian, angka tersebut masih lebih tinggi bila  dibanding periode April yang berada di level 46,7.

Selain Indonesia, sejumlah negara di dunia juga mengalami kontraksi pada Mei 2025, yakni PMI manufaktur Vietnam (49,8), Prancis (49,5), Jepang (49,0), Jerman (48,8), Taiwan (48,6), Korea Selatan (47,7), Myanmar (47,6), dan Inggris (45,1).

“Hasil survei menunjukkan bahwa terjadinya penurunan pada pesanan baru pada Mei. Penurunan pesanan ini mengaitkan karena lesunya permintaan pasar, termasuk yang ingin menembus pasar ekspor, khususnya ke Amerika Serikat karena dampak tarif Trump,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief di Jakarta, Selasa (3/6).

Menurutnya, pengiriman ekspor juga mengalami kendala karena sulit mendapatkan kapal sebagai alat angkut logistik dan pengaruh cuaca buruk. 

Bahkan, perlambatan kinerja industri manufaktur juga karena volume produksi yang anjlok, salah satunya akibat harga bahan baku yang terus naik. “Ini yang membuat industri kita tidak berdaya saing dengan kompetitor, karena harga jual dari kompetitor juga tidak naik, terjadilah efisiensi,” ujarnya.

Sementara itu, Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence mengatakan kinerja industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan karena merosotnya permintaan baru dalam waktu hampir empat tahun belakangan. Hal ini menyebabkan penurunan solid pada volume produksi.

Ekspor juga terus menurun, sementara perusahaan berupaya menyesuaikan inventaris dan tingkat pembelian menanggapi kondisi permintaan yang lemah. “Namun demikian, perusahaan yakin periode penurunan ini akan berlalu karena mereka menaikkan tingkat ketenagakerjaan, sementara kepercayaan diri terkait perkiraan 12 bulan output juga menguat,” katanya.

Kepercayaan Pelaku Industri 

Namun demikian, S&P Global melaporkan, para pelaku industri masih percaya diri (PD) di tengah masa sulit saat ini dan mereka menilai kondisi ini akan berlalu secepatnya dan kinerja industri kembali bertumbuh. 

Kepercayaan diri para pelaku industri ini juga terlihat dari upaya mereka yang masih berkomitmen untuk menambah jumlah tenaga kerja. Bahkan, peningkatan jumlah tenaga kerja ini telah terjadi selama enam bulan terakhir, guna mengantisipasi pemulihan permintaan.

Sampai dengan triwulan I tahun 2025, jumlah perusahaan industri yang melapor sedang dalam proses pembangunan fasilitas produksi terdapat 359 perusahaan, dengan serapan tenaga kerja sebanyak 97.898 orang.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di semua sektor termasuk sektor industri manufaktur, yang disampaikan oleh pihak lain ke publik. Sementara itu, perusahaan yang membangun fasilitas produksi pada triwulan I tersebut juga membuktikan, bahwa ada optimisme tinggi dari sisi serapan tenaga kerja di Indonesia.

Kemenperin dan kementerian lembaga lain memiliki berbagai program yang bisa dimanfaatkan oleh para pekerja yang terkena PHK, misalnya program peningkatan kompetensi atau upskilling, program menjadi wirausaha industri baru, atau memfasilitasi pekerja tersebut pindah ke perusahaan lain yang berdekatan dengan lokasi perusahaan sebelumnya.

Saat ini pemerintah mengeluarkan kebijakan insentif upah mencakup PPH 21 sebesar tiga persen untuk pekerja industri padat karya. Ia berharap insentif itu segera dikeluarkan supaya bisa menopang produksi yang dilakukan oleh pekerja di perusahaan industri.

Menurutnya, pelaku industri mengapresiasi terhadap terbitnya kebijakan baru yang pro-industri, yakni No. 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah. “Kebijakan ini yang disebut oleh Menteri Perindustrian, kebijakan yang afirmatif dan progresif, di mana ada aturan tentang belanja pemerintah yang wajib memprioritaskan untuk membeli produk manufaktur dalam negeri. Belanja pemerintah untuk produk jadi impor berada pada urutan prioritas kelima di bawah urutan produk dalam negeri,” katanya.

Menteri Perindustrian tengah mereformasi kebijakan TKDN terutama kebijakan terkait Tata Cara Perhitungan TKDN agar lebih sederhana, waktu singkat, dan berbiaya murah. Langkah tersebut bertujuan agar semakin banyak produk industri dalam negeri yang memiliki sertifikat TKDN dan dibeli oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD.

Sebagaimana diketahui, terdapat 14.030 perusahaan industri yang memproduksi produk yang ber-TKDN yang produknya dibeli melalui belanja pemerintah dan BUMN/BUMD. Penyerapan tenaga kerja pada perusahaan tersebut ditaksir mencapai 1,7 juta orang.

“Dengan terbitnya Perpres tersebut telah memicu peningkatan demand produk industri tersebut dan menghidarkannya dari penurunan utilisasi, penutupan industri dan PHK atas pekerjanya,” ujar Febri.

 

Share
Topics
Editorial Team
Ekarina .
EditorEkarina .
Follow Us