Studi IBM: Chief AI Officer Bisa Tingkatkan ROI AI Perusahaan 36 Persen

- Penunjukan Chief AI Officer (CAIO) dapat meningkatkan ROI AI perusahaan dengan model operasi terpusat.
- Hanya 17 persen perusahaan di Indonesia yang telah menunjuk CAIO.
- 89 persen CAIO di Indonesia tetap memulai proyek AI meski hasilnya belum bisa sepenuhnya diukur.
Jakarta, FORTUNE - Penunjukan seorang Chief AI Officer (CAIO) mampu meningkatkan return on investment (ROI) dari implementasi kecerdasan buatan (AI) secara signifikan. Namun, adopsi posisi strategis ini di Indonesia masih tergolong minim, baru mencapai 17 persen.
Temuan ini terungkap dalam studi terbaru IBM Institute for Business Value (IBV). Secara global, studi tersebut menunjukkan organisasi yang memiliki CAIO memiliki ROI 10 persen lebih tinggi pada implementasi AI ketimbang perusahaan tanpa jabatan tersebut. Bahkan, ketika CAIO mengelola AI dengan model operasi terpusat, peningkatannya bisa mencapai 36 persen.
Rendahnya adopsi di Indonesia ini kontras dengan data di kawasan Asia Pasifik yang telah mencapai 27 persen dan angka global sebesar 26 persen.
“Dengan semakin banyak perusahaan Indonesia mempertimbangkan manfaat Kecerdasan buatan dalam organisasi mereka, memiliki Chief AI Officer (CAIO) dapat membantu fokus pada pengembalian investasi teknologi baru ini untuk model bisnis mereka,” ujar Managing Partner, IBM Consulting Indonesia, Juvanus Tjandra, dalam keterangan resmi, Kamis (18/9).
Menurutnya, keberadaan CAIO dapat mendorong perusahaan mencapai hasil terukur, efisiensi biaya, sekaligus menemukan peluang pengembangan keterampilan bagi karyawan.
“AI adalah alat yang akan memberdayakan semua pemangku kepentingan untuk masa depan yang lebih efisien,” kata Juvanus.
Meskipun dukungan investasi dari eksekutif telah ada, mayoritas organisasi di Indonesia masih berada pada tahap awal penerapan AI. Data menunjukkan 67 persen perusahaan lokal masih dalam tahap percobaan dengan penerapan terbatas, sedikit lebih tinggi dari angka global (60 persen) dan APAC (64 persen).
Menariknya, para pemimpin AI di Indonesia justru menghadapi tantangan implementasi yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di luar negeri. Hanya 18 persen CAIO di Indonesia yang merasa implementasi AI sangat sulit, jauh di bawah rata-rata global (30 persen) dan APAC (33 persen).
Di sisi lain, mereka menunjukkan urgensi yang lebih tinggi terkait pengukuran dampak. Sebanyak 89 persen CAIO di Indonesia menilai perusahaan mereka berisiko tertinggal jika tidak ada pengukuran dampak AI, melampaui rata-rata global (72 persen) dan Asia Pasifik (74 persen).
Sikap pragmatis ini juga tecermin pada keputusan mereka untuk tetap memulai proyek AI meskipun hasilnya belum bisa sepenuhnya diukur. Angka tersebut mencapai 72 persen di Indonesia, lebih tinggi dibandingkan dengan level global (68 persen) dan APAC (70 persen).