FINANCE

Inflasi Melonjak, Bank Sentral Inggris Perdana Naikkan Suku Bunga

Inflasi negara maju tengah menjadi sorotan banyak pihak.

Inflasi Melonjak, Bank Sentral Inggris Perdana Naikkan Suku BungaOrang-orang memakai masker wajah di bawah tanah London saat penyebaran penyakit virus corona (COVID-19) berlanjut di London, Inggris, Selasa (30/11/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay/HP/sa.

by Luky Maulana Firmansyah

17 December 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) untuk pertama kalinya menaikkan suku bunga acuan dalam tiga tahun terakhir menyusul seruan untuk mengatasi lonjakan harga (inflasi) barang.

Dalam pengumumannya pada Kamis (16/12), lembaga tersebut menaikkan suku bunga menjadi 0,25 persen dari sebelumnya 0,1 persen. Menurut Gubernur bank sentral Inggris, Andrew Bailey, keputusan tersebut perlu untuk mengatasi tekanan inflasi yang kuat dalam membangun perekonomian.

Saat ini tingkat inflasi di Inggris mencapai 5,1 persen—merupakan angka tertinggi dalam satu dekade terakhir. Bailey memperkirakan inflasi akan meningkat lebih lanjut pada awal tahun depan.

“Dalam jangka pendek, yaitu dua atau tiga bulan ke depan, kami pikir (inflasi) bisa mencapai sekitar 6 persen" kata Bailey seperti dikutip dari BBC, Jumat (17/12).

Kenaikan harga gas merupakan faktor utama lonjakan inflasi. Perkara tersebut juga merupakan pendorong utama tagihan (biaya) energi domestik.

Keputusan bank sentral Inggris terjadi di tengah kekhawatiran varian COVID-19 Omicron terhadap perlambatan ekonomi karena masyarakat menahan belanjanya. Meski demikian, kebijakan bank juga untuk meningkatkan biaya pinjaman kepemilikan rumah (KPR).

Kepada The Guardian, Samuel Tombs, kepala ekonom Inggris di konsultan Pantheon Macroeconomics, mengatakan keputusan bank sentral sedemikian—meski ada kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat Omicron—mengindikasikan betapa besar kekhawatiran terhadap prospek inflasi.

Inflasi negara maju lainnya juga naik

Perkara inflasi tentu tak hanya terjadi di Inggris. Masih mengutip The Guardian, Amerika Serikat (AS) sebelumnya juga mencatat tingkat inflasi mencapai 6,8 persen—tertinggi sejak 39 tahun terakhir. Lonjakan harga muncul di berbagai komoditas, yaitu gas, makanan dan perumahan.

Pemerintahan AS yakin inflasi sedemikan berlangsung sementara. Sebab, itu merupakan dampak langsung dari pandemi Covid-19.

Sementara, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) telah mengambil sejumlah langkah demi mengendalikan inflasi, yaitu dengan melakukan tapering off (pengurangan stimulus moneter). Lembaga itu pada November 2021 mengakhiri sejumlah program stimulusnya termasuk pembelian obligasi. Namun, The Fed masih menahan diri untuk menyesuaikan suku bunga—yang merupakan mekanisme utama mengendalikan harga.

Melansir Reuters, terbaru bank sentral AS mengumumkan bahwa akan menyudahi pembelian obligasi selama era pandemi pada Maret 2022. Lalu, berpeluang menyesuaikan suku bunga pada akhir tahun depan. "Perekonomian tidak lagi membutuhkan peningkatan jumlah dukungan kebijakan," kata Ketua Fed Jerome Powell, dalam konferensi pers pada, Rabu (15/12).

Pemerintah Indonesia mewaspadai

Pemerintah Indonesia turut mewaspadai tren inflasi membumbung tinggi di sejumlah negara maju. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, perkara inflasi dan kebijakan moneter (suku bunga), terutama di AS dan Uni Eropa, akan berdampak pada ekonomi negara dunia termasuk Indonesia. Sebagai informasi, inflasi Uni Eropa saat ini mencapai 4,1 persen, naik dari 1,9 persen pada Juni 2021.

“Dengan inflasi tinggi AS akan melakukan tapering mungkin lebih dini dan lebih cepat. Dan itu dampaknya ke seluruh dunia. Demikian juga di Eropa tempat bank sentralnya juga akan dihadapkan pada opsi untuk melakukan penanganan inflasi melalui pengetatan moneter,” kata Sri Mulyani dalam sebuah webinar.

Dalam bahan paparannya, dampak yang bisa muncul dari risiko inflasi maupun kebijakan moneter ini adalah peningkatan volatilitas pasar keuangan, seperti: risiko penurunan arus modal, depresiasi mata uang rupiah, kenaikan imbal hasil (termasuk surat berharga negara), dan penurunan harga saham.