OJK Ungkap Lima Tantangan Perbankan Saat Pandemi

Jakarta, FORTUNE - Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga untuk memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Direktur Penelitian Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mohamad Miftah mengatakan, sebelum adanya pandemi, perbankan juga sudah menghadapi berbagai tantangan dalam menghadapi dan menyiapkan diri menjadi digitalisasi.
“Pandemi COVID-19 telah mengakselerasi perbankan secara signifikan dan digitalisasi menjadi suatu keniscayaan dan harus sudah diambil semua pihak,” kata Miftah, dalam acara seminar yang diselenggarakan virtual, Selasa (18/1).
Lebih lanjut, OJK mengungkapkan lima tantangan yang harus dihadapi oleh perbankan Indonesia selama pandemi dan kemungkinan tantangan baru jika pandemi usai.
Ketidakpastian kondisi ekonomi nasional dan global di tengah COVID-19
Pertama, kondisi ekonomi global dan nasional masih dihadapkan oleh ketidakpastian. “Perbankan juga harus bersiap menghadapi berbagai tantangan dan potensi risiko yang berasal dari eksternal maupun internal,” katanya.
Kedua, ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi terkait dengan daya tahan perbankan dalam menyerap besaran CKPN atau cadangan kerugian penurunan nilai. Hal ini terutama dari kredit yang direstrukturisasi. “Dan juga ini yang menjadi masalah jika terjadi pemburukan kualitas kredit, itu harus diantisipasi,” ujarnya.
Ketiga, perkembangan teknologi yang semakin masif dan kebutuhan tatap muka yang semakin dikurangi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Hal inilah yang menimbulkan kebutuhan interaksi digital dan meningkatkan ekspektasi nasabah akan layanan perbankan yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja serta mudah dan cepat.
Keempat, perubahan ekspektasi yang kemungkinan besar akan berlangsung permanen. Inilah yang mendorong perbankan untuk melakukan transformasi model bisnis menjadi digital banking dengan dukungan infrastruktur teknologi yang canggih.
Kelima, perubahan model bisnis menjadi digital akan menimbulkan potensi risiko, yaitu perlindungan data nasabah dan juga adanya risiko serangan siber.
Apa saja tantangan perbankan jika pandemi usai?
Miftah menjelaskan, apabila pandemi COVID-19 usai, Indonesia juga tetap akan dibayangi dengan berbagai potensi risiko yang perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh perbankan.
Pertama, kondisi pasar. Dalam hal ini antara lain antisipasi cliff effect pascaberakhirnya kebijakan restrukturisasi tahun depan. Selain itu, dampak volatilitas ekonomi akibat tapering off The Fed. Sektor keuangan juga dibayangi kondisi global. Misalnya, kasus Evergrande yang mungkin juga memiliki potensi membawa dampak rentetan pada perbankan nasional.
Kedua, perubahan iklim dan pembiayaan hijau. Adanya perubahan iklim ini menyebabkan perlunya perhatian pada dua risiko baru, yaitu physical risk atau risiko kerugian akibat bencana alam dan perubahan cuaca. Risiko lainnya, yaitu transition risk atau transisi yang terkait dengan penyelarasan strategi dan kebijakan terhadap low carbon economy.
Ketiga, perubahan lanskap dan ekosistem, antara lain penggunaan teknologi, kebutuhan cybersecurity, fenomena data as currency, serta potensi munculnya risiko digital yang mungkin belum dikenali (unknown-unknown risk).
“Perkembangan ekonomi digital yang semakin mengubah lanskap perbankan, membuat perbankan dituntut untuk melakukan kolaborasi dan kerja sama dengan bigtech dan juga institusi-institusi lain dalam ekosistem digital,” ujarnya.
Sektor keuangan juga mendapat pengaruh dari perkembangan desentralisasi finansial berpotensi mendisrupsi layanan keuangan perbankan. Hal ini pun mendorong perbankan untuk menawarkan aset digital atau virtual currency.
Perbankan diimbau memperkuat stabilitas keuangan
Miftah mengingatkan, selain menyiapkan mitigasi jangka panjang jika pandemi usai itu, sektor perbankan juga dihadapi dengan tantangan jangka pendek.
"Perbankan dihadapi dengan tantangan struktural yang merupakan dasar atau pondasi yang kuat untuk transformasi digital agar berjalan lancar,” katanya. Dia pun memerinci tiga hal penting yang harus menjadi perhatian.
Pertama, struktur perbankan nasional kita masih didominasi oleh populasi bank-bank dengan skala yang kecil dan juga mungkin daya saing yang relatif rendah.
Kedua, perubahan ekosistem dan ekspektasi stakeholder akan layanan digital yang semakin masif.
Ketiga, ekspektasi pemerintah dan masyarakat terhadap sektor perbankan dalam pemulihan ekonomi nasional. Keempat, tuntutan kepada regulator terkait pembenahan internal, baik sisi pengaturan pengawasan dan juga perizinan, sehingga dapat lebih agile, adaptif, dan mampu mendukung ekosistem baru industri perbankan.
OJK juga memastikan bank harus penuhi ketentuan kewajiban modal inti minimum senilai Rp3 triliun di penghujung 2022. Ini dilakukan guna memperkuat industri perbankan sehingga terjadi peningkatan terhadap perekonomian. Oleh sebab itu, regulator telah merilis Peraturan OJK 12 tahun 2020 tentang konsolidasi bank umum. Belied ini mewajibkan perbankan memiliki modal inti Rp1 triliun di 2020, lalu naik Rp2 triliun di 2021 dan Rp3 triliun pada 2022.