Pasar Cina Melemah, Merek Mewah Longgarkan Eksklusivitas

Jakarta, FORTUNE - Konsumen barang mewah di Cina mulai mengetatkan pengeluaran di tengah perlambatan ekonomi, memaksa merek-merek global seperti Louis Vuitton menyesuaikan strategi pemasaran mereka. Salah satunya adalah menurunkan ambang batas eksklusivitas dalam acara khusus bagi pelanggan penting atau VIC (Very Important Client).
Pada sebuah acara di toko utama Louis Vuitton di Beijing, model-model memperagakan koleksi terbaru diiringi denting gelas sampanye dan tepuk tangan dari tamu terbatas. Dulu, undangan untuk acara semacam ini hanya diberikan pada pelanggan yang membelanjakan setidaknya 500.000 yuan atau sekitar Rp1,98 miliar per tahun.
Namun, kini standar itu telah berubah. “Biasanya acara seperti ini hanya untuk pelanggan yang belanjanya minimal 500.000 yuan per tahun,” ujar Liu Yu, penggemar barang mewah.
Dia menambahkan, “Saya hanya belanja sekitar 100.000 yuan per merek, tapi tetap diundang dua kali dalam satu minggu di bulan Maret.”
Strategi ini merupakan respons atas menurunnya permintaan di pasar domestik, yang dulu menjadi tumpuan pertumbuhan industri barang mewah global. Acara VIC yang kini marak dibagikan di platform seperti Douyin dan Xiaohongshu menjadi salah satu cara merek untuk mempertahankan minat konsumen.
Pasar Cina lesu
Menurut laporan Bain & Company pada Januari lalu, pasar barang mewah di Cina daratan menyusut hingga 20 persen sepanjang 2024, mengakhiri masa pemulihan singkat pasca-pandemi. Sebagian konsumen kini lebih memilih berbelanja di luar negeri, terutama di Jepang dan negara-negara Asia lainnya, yang telah melampaui level pembelian tahun 2019.
Meski demikian, secara keseluruhan, belanja barang mewah global oleh konsumen Cina masih turun 7 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan 16 persen di bawah level sebelum pandemi.
“Menariknya, meskipun para VIC menunjukkan ketahanan lebih besar, mereka juga menjadi lebih konservatif dalam belanja barang mewah. Mereka kini cenderung mendiversifikasi kekayaan ke berbagai jenis aset lain di tengah ketidakpastian ekonomi,” tulis analis Bain.
Penurunan ini lebih banyak dipicu oleh perubahan psikologis. Banyak keluarga kelas menengah di Cina sebenarnya tidak kehilangan daya beli, tapi kini bersikap lebih hati-hati terhadap pengeluaran dan risiko ekonomi.