Apa Itu Sell in May and Go Away? Ini Penjelasan dan Strateginya

- Sell in May and Go Away bisa dikatakan sebagai strateegi investasi berdasarkan musim.
- Strategi ini didasarkan pada pola historis bahwa kinerja pasar saham cenderung lemah di musim panas dibandingkan dengan musim dingin.
- Efektivitasnya masih menjadi perdebatan di kalangan analis dan ekonom serta tidak berlaku sebagai aturan emas dalam investasi.
Di kalangan investor, istilah Sell in May and Go Away menjadi ungkapan populer yang menggambarkan strategi investasi musiman. Frasa ini menyarankan agar investor menjual saham mereka di pertengahan tahun dan kembali berinvestasi menjelang akhir tahun.
Strategi Sell in May and Go Away dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kinerja pasar saham cenderung melemah selama periode tertentu. Lalu, seperti apa strategi tersebut dan bisakah diterapkan di Indonesia? Berikut ini penjelasan seengkapnya!
Apa itu Sell in May and Go Away?
Sell in May and Go Away adalah strategi yang menyarankan investor untuk keluar dari pasar saham pada bulan Mei. Lalu, investor disarankan kembali berinvestasi pada bulan November.
Strategi ini didasarkan pada pola historis yang menunjukkan bahwa kinerja pasar saham cenderung lemah pada musim panas (Mei hingga Oktober) dibandingkan dengan saat musim dingin (November hingga April).
Cara kerja Sell in May and Go Away secara singkat dengan menyarankan investor beberapa hal, yaitu:
Menjual saham pada awal Mei atau akhir musim semi
Menyimpan dana dalam bentuk kas atau instrumen pendapatan tetap (fixed income)
Kembali masuk ke pasar saham pada bulan November menjelang akhir tahun.
Sesuai strategi Sell in May and Go Away, investor dapat menghindari periode musim panas yang diyakini minim pertumbuhan dan lebih rentan terhadap volatilitas. Strategi ini terkenal karena dianggap mampu mengurangi risiko dan mengoptimalkan imbal hasil jangka panjang.
Kendati demikian, perlu Anda ketahu bahwa strategi Sell in May and Go Away masih menjadi bahan perdebatan di kalangan analis dan ekonom. Jadi, efektivitasnya belum bisa dibuktikan secara akurat.
Asal usul dan sejarah strategi Sell in May and Go Away
Sell in May and Go Away berasal dari Inggris, dengan versi lengkapnya, yaitu Sell in May and go away, come back on St. Leger's Day. St. Leger's Day. Kalimat tersebut mengacu pada perlombaan kuda terkenal di Inggris yang biasanya digelar pada bulan September.
Di Amerika Serikat, strategi Sell in May and Go Away juga dikenal luas dan sering dikaitkan dengan periode antara Memorial Day di akhir Mei hingga Labor Day pada awal September.
Mengutip Investopedia, gagasan ini pertama kali dipopulerkan oleh The Stock Trader’s Almanac. Investasi saham (terutama Dow Jones Industrial Average) dari November hingga April telah secara historis memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah sejak 1950.
Namun, studi lanjutan menunjukkan bahwa jika menggunakan data indeks S&P 500 (sejak 1927), hasilnya justru bisa berlawanan. Pada era 1930-an dan 1940-an, indeks S&P 500 menghasilkan return musim panas 11,23% dan 4,51% lebih tinggi dibanding periode musim dingin.
Validitas strategi Sell in May and Go Away pun menjadi perdebatan. Terlebih, faktor makroekonomi bisa menggagalkan strategi ini. Contohnya, selama pandemi COVID-19 (Nov 2019–Apr 2020), pasar justru mengalami tekanan besar karena krisis global.
Apakah strategi Sell in May and Go Away berlaku di Indonesia?
Sell in May and Go Away adalah strategi yang menarik dari sisi historis dan statistik. Namun, strategi ini tidak bisa dianggap sebagai "aturan emas" dalam investasi. Dalam praktiknya, kondisi ekonomi, geopolitik, serta peristiwa global dapat memengaruhi pasar jauh lebih besar daripada sekadar musim.
Pasar saham Indonesia seperti IHSG, memang menunjukkan volatilitas di pertengahan tahun, tetapi tidak secara konsisten mengikuti pola Sell in May. Alih-alih menjual semua saham di bulan Mei, beberapa analis menyarankan alternatif berikut.
Rotasi portofolio: beralih ke sektor yang defensif atau tahan tekanan ekonomi.
Strategi buy-and-hold: untuk investor jangka panjang, mempertahankan kepemilikan saham sepanjang tahun seringkali lebih bijak daripada keluar masuk pasar berdasarkan musim.
Bagi investor jangka panjang, strategi berbasis fundamental dan diversifikasi portofolio mungkin lebih relevan dibanding mengikuti strategi musiman ini.