Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
For
You

Ahli ITB Ingatkan Ini Agar Proyek Sampah Jadi Listrik Berjalan Mulus

antarafoto-volume-sampah-di-tpa-jabon-meningkat-1763529990.jpg
Foto udara alat berat meratakan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Griyo Mulyo Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (18/11/2025). Menurut Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan setempat, Volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jabon bertambah dari biasanya hanya 550 ton per hari kini meningkat sekitar 600 ton seiring masifnya normalisasi sungai yang membawa tambahan material ke lokasi pembuangan akhir saat musim hujan. ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Intinya sih...
  • Proses pretreatment sebelum masuk ke fasilitas pengolahan tidak boleh dilewatkan.
  • Kegagalan proyek insinerator di Phuket, Thailand disebabkan oleh kesalahan pada pra-feasibility study.
  • Pretreatment penting untuk menghasilkan listrik secara optimal.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Keberhasilan proyek waste-to-energy (WTE) tidak hanya ditentukan oleh teknologi insinerator atau besarnya investasi.

Menurut Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Pandji Prawisudha, kunci utama keberhasilan justru terletak pada pemahaman yang tepat mengenai karakteristik sampah dan kesiapan proses pretreatment sebelum sampah masuk ke fasilitas pengolahan.

Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari negara lain, termasuk kegagalan parsial proyek insinerator di Phuket, Thailand. Padahal Thailand telah mengoperasikan 64 PLTSa yang tersebar di berbagai wilayah, unggul jauh dari Indonesia yang baru mengoperasikan beberapa fasilitas.

“Kasus Phuket menarik. Kapasitas desainnya 250 ton per hari dengan target listrik 2,5 MW. Namun, sejak beroperasi setelah 1999, listriknya tidak pernah lebih dari 1,8 MW,” kata dia dalam acara Waste to Energy Investment Forum 2025 di Jakarta, Rabu (19/11),.

Setelah diteliti, penyebab utamanya adalah kesalahan pada fase sebelum feasibility study, terutama terkait komposisi sampah.

Pada studi awal, kandungan organik sampah Phuket mencapai 34 persen. Namun saat pengoperasian, angka itu melonjak menjadi 49–60 persen, dan kini bahkan 65–69 persen.

“Artinya, proses sampling sampah dalam studi kelayakan sangat penting. Jangan sampai investor salah membaca karakteristik sampah Indonesia,” kata Pandji.

Menurutnya, komposisi sampah Indonesia—yang umumnya memiliki 55–60 persen sampah organik—menjadikannya sangat sensitif terhadap produksi listrik.

Semakin tinggi kandungan organik dan kadar air, semakin rendah potensi energi yang dihasilkan.

Dalam kondisi ekstrem seperti musim hujan atau periode menjelang Lebaran, sampah menjadi lebih basah dan didominasi sisa makanan, sehingga berpotensi menurunkan kinerja insinerator. Kondisi ini bisa menjadi masalah besar bila tidak diantisipasi sejak awal.

“Kalau dari 1.000 ton sampah, 50 persennya air, maka yang kita proses sebenarnya adalah air, bukan bahan bakar,” kata dia.

Perlu pretreatment

Pengolahan awal atau pretreatment, seperti yang telah diterapkan di PLTSa Bantar Gebang (Merah Putih), PLTSa Benowo, dan PLTSa Putri Cempo, tidak bisa dihindarkan.

Metode ini mencakup proses penirisan sampah di dalam bunker selama tiga hingga lima hari hingga mencapai kadar air lebih stabil, atau pengeringan langsung di dalam tungku insinerator melalui tiga fase utama—pengeringan, devolatilisasi, dan pembakaran.

Pretreatment juga dapat diperkuat dengan pengelolaan hulu melalui TPS 3R, yang memilah sampah daur ulang dan memisahkan sampah makanan untuk masuk ke rumah kompos.

Dengan demikian, residu yang tidak bisa diolah secara biologis dapat diproses secara termal untuk menghasilkan listrik secara optimal.

“Ini win-win solution. Pemda tetap punya pendapatan dari daur ulang, sampah organik tertangani, residu bisa masuk ke [fasilitas] pengolahan sampah menjadi energi listrik,” ujarnya.

Pandji menegaskan teknologi biologis seperti anaerobic digester—yang dapat menghasilkan listrik dari biogas—tersedia, opsi itu hanya cocok untuk sampah organik basah.

Untuk residu yang bercampur plastik, kertas kotor, dan material tak bernilai ekonomi, tidak ada teknologi yang lebih efektif selain pengolahan termal.

Ke depan, menurutnya, perubahan iklim bisa membuat sampah semakin basah akibat hujan intens, sehingga proses pretreatment harus menjadi prasyarat utama perancangan proyek WTE di Indonesia.

“Dengan pretreatment yang tepat, listrik bisa dihasilkan maksimal. Pengolahan sampah beres, bisnisnya jalan, dan ada bonus listrik untuk masyarakat. Itu kondisi idealnya,” kata Pandji.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us

Latest in News

See More

Ahli ITB Ingatkan Ini Agar Proyek Sampah Jadi Listrik Berjalan Mulus

20 Nov 2025, 05:00 WIBNews