Proyek Sulap Sampah Jadi Listrik Sempat Mandek 11 Tahun

- Terhalang birokrasi yang rumit dan panjang.
- Sistem lama dengan proses perizinan yang melelahkan memacetkan proyek WTE di beberapa daerah.
- Perpres 109/2025 menetapkan tarif final tanpa ruang negosiasi.
Jakarta, FORTUNE - Upaya Indonesia mengubah gunungan sampah menjadi sumber listrik ramah lingkungan sempat terhenti selama satu dekade lebih.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengungkap bagaimana proyek waste-to-energy (WTE) itu berputar-putar dalam birokrasi hingga 11 tahun lamanya, sebelum akhirnya dibongkar total melalui lahirnya Perpres 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan
Zulhas menceritakan kembali pengalamannya saat masalah sampah menggunung hingga menyamai gedung 16 lantai dibahas dalam rapat terbatas yang dipimpin langsung Presiden Prabowo Subianto.
“Itu sampah rumit, [Pak Presiden]. Berputar-putar ngurusnya. Kalau untuk mengatasi sederhana, Bapak kasih Perpres saja, insya Allah dua tahun selesai,” kata dia dalam acara Waste to Energy Investment Forum 2025 di Jakarta, Rabu (19/11), mengulang pernyataannya kepada Prabowo.
Pemerintah lantas menelusuri satu per satu hambatan yang membuat proyek WTE di beberapa daerah tidak kunjung berjalan. Zulkifli mengatakan sistem lama yang mengandalkan kerja sama antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, PLN, dan investor membuat proses perizinan sangat panjang dan melelahkan.
Salah satu simpul rumitnya terletak pada tipping fee atau biaya yang harus dibayar pemerintah daerah kepada pengelola WTE. Besaran biaya itu wajib mendapat persetujuan DPRD kabupaten atau kota setiap tahun.
Bahkan, untuk proyek lintas wilayah, persetujuan juga harus melibatkan DPRD provinsi dan gubernur.
“Sampai di sini saja mungkin bertahun-tahun tidak selesai,” kata Zulkifli.
Setelah lolos urusan daerah, investor masih harus mengurus subsidi ke Kementerian Keuangan, studi lingkungan ke Kementerian Lingkungan Hidup, kajian teknis ke Kementerian ESDM, hingga negosiasi baru dengan PLN.
“Dalam 11 tahun itu, kalau saya tidak salah saya cek, hanya ada tiga izin atau tiga kesepakatan yang bisa berjalan. Ada satu di Surabaya, satu lagi di Solo. Solo sekarang enggak jalan. Saya terakhir ke Surabaya juga tidak bisa berjalan dengan baik,” kata Zulkifli.
Padahal, menurutnya, teknologi insinerator untuk mengubah sampah menjadi energi telah lazim di negara lain sejak dua dekade lalu. Malaysia, Singapura, Jepang, hingga Cina telah memanfaatkan WTE sebagai solusi pengolahan sampah sekaligus penyedia energi alternatif.
“Negara lain sudah memakai ini, kita masih sibuk urusan perizinan,” ujarnya.
Kondisi inilah yang mendorong pemerintah menerbitkan Perpres 109/2025, yang menetapkan satu tarif final, yakni 20 sen per kWh, tanpa ruang negosiasi berlarut-larut.
Pemerintah daerah kini cukup mengajukan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup, serta diwajibkan menyediakan lahan dan menjamin ketersediaan sampah untuk diolah menjadi energi.
Seluruh jalur rumit lintas kementerian—dari keuangan, lingkungan, hingga ESDM—ditata ulang agar tidak lagi menghambat investasi dan pembangunan fasilitas WTE di daerah.
Dengan langkah ini, pemerintah berharap proyek sulap sampah menjadi listrik tak lagi terjebak dalam belitan regulasi.
“Semua yang tadi itu kita pangkas,” kata Zulkifli.


















