Alasan Menkes Kukuh Ingin Naikkan Iuran BPJS Kesehatan

- Belanja kesehatan masyarakat terus meningkat sekitar 10-15 persen setiap tahun, mencapai Rp614,5 triliun pada 2023.
- Kenaikan belanja kesehatan telah melampaui pertumbuhan ekonomi, tidak sehat dan berkelanjutan menurut Budi Gunadi.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, menyatakan urgensi kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah lima tahun tidak mengalami penyesuaian. Menurutnya, kebijakan ini tidak terhindarkan karena biaya layanan kesehatan terus meningkat setiap tahunnya, sementara iuran BPJS tetap stagnan sejak 2020.
Budi menjelaskan belanja kesehatan masyarakat terus mengalami kenaikan sekitar 10-15 persen setiap tahun. Pada 2023, total belanja kesehatan mencapai Rp614,5 triliun, meningkat 8,2 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp567,7 triliun. Bahkan sebelum pandemi Covid-19, belanja kesehatan juga mengalami lonjakan, misalnya pada 2018 yang naik 6,2 persen dari Rp421,8 triliun menjadi Rp448,1 triliun.
“Kenaikan belanja kesehatan sudah melampaui pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB), yang dalam 10 tahun terakhir hanya di kisaran 5 persen. Ini tidak sehat dan tidak berkelanjutan,” kata Budi saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR yang disiarkan virtual, Selasa (11/2).
Ia mengibaratkan kondisi ini dengan gaji pegawai atau sopir yang tidak naik selama lima tahun, sementara inflasi terus terjadi.
“Kalau inflasi 15 persen, tapi gaji tidak naik selama lima tahun, tentu itu tidak masuk akal,” ujarnya.
Masyarakat miskin tetap dilindungi
Meski iuran BPJS Kesehatan direncanakan naik, Budi mengatakan masyarakat miskin tetap akan mendapat bantuan penuh dari pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Saat ini, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.64/2020, pemerintah membayarkan iuran sebesar Rp42.000 per bulan untuk peserta kategori PBI.
“Nah, kalau tarif naik, kita harus adil. Jangan sampai masyarakat miskin terdampak. Pemerintah akan tetap menanggung 100 persen iuran mereka,” kata Budi.
Namun, ia juga menekankan bahwa data penerima PBI harus lebih tepat sasaran agar subsidi benar-benar diberikan kepada yang berhak. Budi meminta Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperbaiki sistem pendataan, mengingat kasus-kasus ketidaktepatan masih terjadi.
“Jangan sampai ada kasus seperti Harvey Moeis lagi. Orang sekaya dia kok BPJS-nya ditanggung pemerintah? Itu tidak masuk akal. Tidak mungkin orang yang punya limit kredit bank Rp50 juta atau rumah dengan listrik 2.200 kWh masuk kategori PBI,” ujarnya.
Langkah tidak populer, tapi tak terhindarkan
Budi menyadari rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan bukanlah kebijakan yang populer. Namun, ia menekankan keputusan ini perlu diambil agar sistem jaminan kesehatan nasional tetap berkelanjutan dan nantinya tidak mengalami guncangan.
“Kalau tidak ada penyesuaian sekarang, nantinya malah bisa meledak dan lebih berbahaya. Lebih baik kita jujur sejak sekarang bahwa kenaikan belanja kesehatan tidak seimbang dengan iuran BPJS yang stagnan selama lima tahun,” ujarnya.