Bank Dunia Peringatkan Utang Negara Berkembang yang Makin Tinggi

- Bank Dunia menilai lonjakan ketidakpastian dalam perdagangan memperburuk akumulasi utang di negara-negara berkembang.
- IMF menurunkan proyeksi ekonomi global menjadi 2,8% pada 2025 dan memperingatkan eskalasi ketegangan perdagangan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
- Tingginya tingkat utang menyebabkan sekitar setengah dari 150 negara berkembang kesulitan membayar utangnya, dengan risiko gagal bayar.
Jakarta, FORTUNE - Bank Dunia menilai lonjakan ketidakpastian dalam perdagangan memperburuk akumulasi utang di negara-negara berkembang. Lonjakan tersebut juga memperlambat laju pertumbuhan negara-negara dunia kegita itu.
Sementara itu, penurunan tarif dari Presiden AS Donald Trump diyakini dapat mendorong pemulihan cukup signifikan. Indermit Gill selaku Kepala Ekonom Bank Dunia mengungkapkan para ekonom dunia dengan cepat merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Revisi proyeksi diterapkan pada negara-negara maju. Sementara revisi untuk negara berkembang masih relatif moderat.
Hal ini terjadi setelah Donald Trump mengumumkan serangkaian tarif impor baru yang disebut Gill sebagai "tsunami tarif".
Menurut laporan Reuters, dikutip Senin (28/4), dalam pertemuan musim semi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia i Washington, isu utama yang mendominasi adalah kekhawatiran terhadap dampak ekonomi dari kebijakan tarif impor AS.
Kebijakan tersebut belum pernah terjadi dalam satu abad terakhir. Selain itu, respons China, Uni Eropa, Kanada, dan negara lainnya perihal tarif impor AS pun bisa berpengaruh pada kondisi ekonomi.
Proyeksi ekonomi Bank Dunia dan IMF
Pada hari Selasa, IMF menurunkan proyeksi ekonominya untuk Amerika Serikat, China, dan sebagian besar negara lainnya. IMF juga memperingatkan eskalasi ketegangan perdagangan dapat berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
IMF memperkirakan pertumbuhan global akan berada di angka 2,8% pada 2025. Perkiraan itu turun setengah poin persentase dibandingkan proyeksi pada Januari lalu.
Meskipun Bank Dunia baru akan mengumumkan proyeksi terbarunya pada bulan Juni, Gill menyatakan konsensus para ekonom global menunjukkan adanya penurunan cukup besar dalam proyeksi pertumbuhan dan volume perdagangan.
Indeks ketidakpastian yang sudah berada pada tingkat tinggi dibandingkan satu dekade lalu, kembali melonjak menyusul pengumuman tarif impor Trump pada 2 April.
Gill menuturkan bahwa dibandingkan krisis keuangan global 2008-2009 dan pandemi Covid-19, guncangan ekonomi kali ini berakar dari kebijakan pemerintah.
Menurut Gill, kondisi ini semakin membebani pertumbuhan negara-negara berkembang. Padahal, negara-negara tersebut mengalami perlambatan sekitar 6% dua dekade lalu. Sedangkan, pertumbuhan perdagangan global hanya diperkirakan mencapai 1,5%, jauh di bawah rata-rata 8% yang dicapai pada awal 2000-an.
Gill juga menyoroti aliran portofolio ke negara berkembang serta investasi langsung asing (FDI) mengalami penurunan. Hal ini serupa dengan tren yang terjadi pada masa krisis sebelumnya.
"FDI adalah 5% dari PDB di pasar negara berkembang selama masa-masa baik. Sekarang sebenarnya 1% dan aliran portofolio dan aliran FDI secara keseluruhan turun," katanya.
Ancaman utang dan pentingnya negosiasi dagang
Tingginya tingkat utang menyebabkan sekitar setengah dari 150 negara berkembang dan pasar berkembang kesulitan membayar utangnya. Bahkan, bisa jadi muncul risiko gagal bayar.
Tingkat utang dua kali lipat lebih besar dibandingkan pada 2024. Utang negara-negara berkembang dikhawatirkan akan terus bertambah jika ekonomi global terus melemah.
"Jika pertumbuhan global melambat, perdagangan melambat, lebih banyak negara dan suku bunga tetap tinggi, maka Anda akan membuat banyak negara ini mengalami kesulitan utang, termasuk beberapa yang merupakan eksportir komoditas," jelas Gill.
Ia juga menyebutkan bahwa pembayaran bunga bersih telah berada di angka 12%, naik dari 7% pada 2014.
"Tingkatnya bahkan lebih tinggi untuk negara-negara miskin, di mana biaya pembayaran utang menghabiskan 20% dari PDB sekarang, dibandingkan dengan 10% satu dekade lalu," tambah Gill.
Konsekuensinya, banyak negara harus mengurangi anggaran untuk sektor-sektor penting seperti pendidikan, layanan kesehatan, serta program pembangunan lainnya. Gill memperkirakan suku bunga akan tetap tinggi akibat meningkatnya ekspektasi inflasi.
Kondisi ini berpotensi memperburuk beban utang negara-negara jika mereka harus menerbitkan utang baru untuk membayar kewajiban lama.
Gill memberikan rekomendasi kepada negara-negara berkembang untuk segera menegosiasikan kesepakatan dengan Amerika Serikat. Tujuannya untuk menurunkan tarif impor sekaligus menghindari beban tarif tinggi dari AS.
Menurutnya, langkah tersebut diambil saat ini ketika tekanan dari AS mungkin bisa membantu melemahkan resistensi di dalam negeri. Upaya tersebut dapat memberikan dorongan pertumbuhan yang substansial.