NEWS

Ekonom UI Berikan Catatan Ihwal Pemberian Bansos Era Jokowi

Perbaikan diperlukan dalam sistem pendistribusiannya.

Ekonom UI Berikan Catatan Ihwal Pemberian Bansos Era JokowiProses penerimaan bansos. (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoiruans)
22 December 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Teguh Dartanto mengatakan kebijakan bantuan sosial (Bansos) yang ada pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memang menjadi kewajiban negara terhadap rakyatnya.

Bahkan, dia menyarankan pemerintah untuk menambah alokasi anggaran bansos, dengan catatan ada strategi distribusi dan pengentasan kemiskinan yang lebih terstruktur.

“[Bansos] tetap diperlukan karena itu bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat kelompok bawah,” kata Teguh dalam pernyatannya yang dikutip Jumat (21/12).

Dia mengatakan pemberian bansos bukan kebijakan yang identik dengan negara berkembang. Justru banyak negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat, menjadikan bansos sebagai strategi perlindungan sosial—dengan sistem yang lebih komprehensif.

Apabila kebijakan pemberian bansos itu ditiadakan, nasib rakyat akan kian terombang-ambing. Sebab bansos merupakan salah satu jaring pengaman sosial bagi masyarakat.

“Perdebatannya bukan pada dibutuhkan atau tidak, tapi perlu ada perbaikan dari sisi penerimaan dan strateginya harus lebih clear,” ujarnya.

Dua strategi yang bisa diterapkan

Teguh mengusulkan dua cara agar pemberian bansos lebih efektif di Indonesia.

Pertama, pemerintah harus memiliki strategi graduasi atau memikirkan bagaimana para penerima bansos bisa naik kelas.

Perihal strategi pertama, dia menyoroti dua jenis bantuan yang telah disediakan pemerintah, yaitu bantuan yang sifatnya untuk bertahan hidup seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau pemberian sembako, serta bantuan yang sifatnya produktif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

“Dari sisi penerima, perlu dipertegas supaya bagaimana orang yang menerima bansos bisa naik kelas. Mereka harus dibantu supaya tidak menerima bansos lagi. Itu yang harus clear. Untuk bantuan yang produktif, seperti KIP untuk masa depan atau KIS, itu nilainya masih kurang,” ujar dia.

Strategi kedua adalah adaptive social protection atau pemberian bantuan berbasis kebutuhan. Strategi ini menurutnya telah diterapkan di banyak negara maju, golongan penerimanya baru bisa mendapatkan bansos setelah mendaftarkan diri.

Teguh berharap Indonesia dapat mengadopsi strategi tersebut, karena pemberian bansos saat ini masih menerapkan pendekatan top down, yaitu negara menentukan siapa yang layak atau tidak layak menerima bantuan.

“Misalnya, ada orang yang tiba-tiba kena PHK dan penghasilannya langsung drop. Mereka perlu bantuan. Dengan sistem yang sekarang, mereka tidak bisa menyatakan kalau saya butuh bansos. Dengan cara on-demand application, mereka yang butuh bansos boleh mendaftarkan diri,” kata dia.

Perlu adanya perbaikan sistem

Dia juga menyoroti sistem pembaruan data penerima bansos yang sangat lambat. Mulai dari mendaftarkan diri sebagai penerima bansos hingga mendapatkan bantuannya baru terjadi setelah 4 bulan ke depan.

“Prosesnya kelamaan. Memang perlu dibuat sistem yang seketika mereka butuh bantuan,” kata Teguh.

Terlepas dari kekurangannya, Teguh mengatakan bansos dalam bentuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diluncurkan sejak 2017 terhitung memberikan dampak positif. Menurutnya, BPNT menjawab persoalan klasik terkait apakah lebih baik memberikan bansos dalam bentuk uang atau sembako.

“BPNT itu inovasi yang sangat baik. Uang ditransfer ke dalam kartu dan kartunya bisa dibelanjakan untuk barang tertentu. Itu juga bisa menghidupi warung-warung kelontong. Jadi BPNT itu sudah ideal menurut saya untuk Indonesia,” ujarnya.

Related Topics