NEWS

Diwarnai Polemik, RUU KUP Lolos ke Paripurna DPR

RUU KUP akan dibahas di rapat paripurna DPR pekan depan.

Diwarnai Polemik, RUU KUP Lolos ke Paripurna DPRANTARA FOTO/Joni Iskandar/HO/mrh/hp

by Hendra Friana

30 September 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) telah disetujui dalam pembahasan tingkat I dan akan segera dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan.

"Paripurnanya awal minggu depan. Sudah (disetujui) di tingkat I," katanya usai menghadiri rapat paripurna pengesahan Undang-Undang APBN 2022 di DPR, Kamis (30/9).

Persetujuan DPR untuk membawa RUU tersebut ke paripurna juga disampaikan Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo. Melalui akun Twitter pribadinya, Yustinus menulis RUU KUP yang diubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah disetujui Komisi XI.

Dengan disetujuinya RUU ini, lanjutnya, maka barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial bagi masyarakat bawah mendapat fasilitas bebas PPN.

"Alhamdulilah puji Tuhan! RUU KUP (menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) disetujui Komisi XI DPR untuk dibawa ke Paripurna dan disahkan menjadi UU. Proses yang panjang, deliberatif, diskursif, dan dinamis demi reformasi perpajakan dan Indonesia maju, adil, sejahtera," tulisnya, Kamis (30/9).

Dalam rapat bersama Komisi XI pada Senin (13/9), Sri Mulyani mengatakan RUU tersebut berisi lima kelompok materi utama. Masing-masing kelompok berisi pengaturan yang menjadi inti dari perubahan UU No.6/1983, berkaitan dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, serta pajak karbon.

Cuitan Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo terkait RUU KUP

Diwarnai Polemik

Sejumlah fraksi di DPR masih memberikan catatan kritis terhadap perluasan serta kenaikan tarif PPN dalam RUU tersebut. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, misalnya, menolak perluasan pengenaan PPN pada objek sembako, jasa pendidikan, dan kesehatan. 

"Fraksi PKS dengan tegas mengatakan bahwa tidak bisa menerima pengenaan PPN atas kebutuhan pokok yang mendasar atau lebih dikenal dengan sembako. Fraksi PKS juga tidak bisa menerima pengenaan PPN atas jasa pendidikan dan jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial dan jasa pelayanan keagamaan," kata anggota Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam dalam rapat tersebut.

Sementara anggota Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun, meminta pemerintah memperhatikan kondisi perekonomian masyarakat sebelum menerapkan perluasan PPN. Hal ini untuk memastikan bahwa masyarakat dan dunia usaha tidak tertimpa beban yang terlalu berat ketika ekonomi mereka belum sepenuhnya pulih dari dampak-dampak pandemi.

"Fraksi partai Golkar berharap waktu pemberlakuan reformasi perpajakan ini dapat didesain lebih longgar dan fleksibel agar dapat menyesuaikan dengan kondisi dan perkembangan pandemi dan pemulihan ekonomi global maupun domestik," katanya.

Dalam draft RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan itu, perluasan PPN untuk objek sembako, jasa pendidikan, hingga kesehatan tercantum dalam pasal 44E, di mana pada sub-pasal 4A, poin tentang barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak, jasa pendidikan, serta jasa kesehatan dihapus dari pengecualian PPN. 

Kendati begitu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa penerapan PPN pada objek-objek baru itu akan menggunakan skema multitarif. Artinya, pajak untuk barang dan jasa tersebut bisa dikenakan lebih rendah atau nol jika konsumennya adalah masyarakat kecil.

"Karena bisa saja bicara hal yang sama yaitu makanan pokok, pendidikan, dan kesehatan karena range dari konsumsi ini bisa dari yang sangat basic sampai yang paling sophisticated menyangkut pendapatan atau tingkat pendapatan yang sangat tinggi,” ucapnya.

Untuk jasa kesehatan, misalnya, pengenaan PPN akan diterapkan bagi layanan yang pembayarannya tidak melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional seperti jasa klinik kecantikan, estetika, hingga operasi plastik yang sifatnya non-esensial.

"Untuk peningkatan peran masyarakat dalam sistem jaminan kesehatan nasional, treatment ini akan memberikan insentif masyarakat dan sistem kesehatan masuk sistem JKN," kata Sri Mulyani.

Lalu, untuk jasa pendidikan, pengenaan PPN akan diarahkan pada layanan yang sifatnya komersial serta diselenggarakan oleh lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal seperti dipersyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan demikian, sekolah seperti madrasah dan yang lainnya tidak akan dikenakan pajak tersebut.

"Ini juga untuk membedakan terhadap jasa pendidikan yg diberikan secara masif oleh pemerintah maupun lembaga sosial lain dibandingkan yang mencharge dengan tuition atau SPP yang luar biasa tinggi," pungkasnya