Indonesia dan Jerman Bahas Percepatan Finalisasi I-EU CEPA

- Indonesia dan Jerman memperkuat hubungan perdagangan melalui percepatan finalisasi I-EU CEPA.
- Diperlukan pendekatan kolaboratif agar implementasi CEPA memberikan manfaat optimal.
- Indonesia menargetkan penyelesaian proses aksesi OECD pada 2027.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia dan Jerman sepakat memperkuat komitmen mempercepat finalisasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (I-EU CEPA). Kesepakatan ini diharapkan menjadi pendorong utama peningkatan hubungan dagang dan investasi yang lebih seimbang pada kedua negara.
Komitmen tersebut mengemuka dalam pertemuan strategis antara Wakil Menteri Perdagangan RI, Dyah Roro Esti Widya Putri, dengan Wakil Menteri Perekonomian dan Energi Jerman, Stefan Rouenhoff, di Berlin. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari dorongan politis yang muncul setelah pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Komisi Eropa pada 13 Juli 2025 di Brussel.
“Indonesia dan Jerman telah menjalin hubungan bilateral yang baik, termasuk dalam sektor perdagangan. Kami menyambut baik dukungan Jerman dalam finalisasi I-EU CEPA yang diharapkan dapat meningkatkan hubungan dagang yang saling menguntungkan,” kata Roro dalam keterangannya, Kamis (18/9).
Menurut Roro, implementasi I-EU CEPA nantinya memerlukan pendekatan kolaboratif agar manfaatnya optimal. Fokus utamanya adalah peningkatan akses pasar barang dan jasa, kelancaran arus investasi, serta penguatan kerja sama di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang berkelanjutan.
Dari sisi Jerman, Stefan Rouenhoff menegaskan komitmen negaranya dalam memperkuat kerja sama ekonomi dengan Indonesia sebagai mitra penting di Asia Tenggara. Ia bahkan berencana melakukan kunjungan ke Indonesia tahun depan, sebuah momentum yang akan menjadi lebih signifikan jika perjanjian I-EU CEPA telah ditandatangani.
Jerman melihat adanya potensi besar yang dapat digarap bersama, terutama untuk mengatasi tantangan demografis yang mereka hadapi.
“Kami melihat potensi besar di sektor jasa, khususnya karena Jerman menghadapi aging population dan membutuhkan tenaga kerja di sektor hospitality, konstruksi, teknologi informasi, dan kesehatan,” kata Stefan.
Salah satu agenda penting yang dibahas adalah defisit perdagangan yang dialami Indonesia terhadap Jerman sepanjang periode 2020–2024. Defisit ini sebagian besar disebabkan oleh impor produk teknologi canggih seperti mesin industri, kendaraan, dan peralatan medis.
Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia menawarkan solusi konkret berupa kerja sama manufaktur canggih. Opsi yang diajukan meliputi produksi bersama, program pelatihan teknis, hingga perakitan lokal untuk produk-produk Jerman di Indonesia.
“Kolaborasi dalam otomatisasi, mesin presisi tinggi, dan peralatan medis diharapkan mampu menekan defisit sekaligus mendorong industrialisasi berkelanjutan di Indonesia,” kata Roro.
Selain perdagangan, pertemuan ini juga membahas dukungan Jerman terhadap proses aksesi Indonesia menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Indonesia menargetkan proses ini dapat rampung pada 2027.
Roro menjelaskan bahwa Indonesia telah menyerahkan Initial Memorandum (IM), termasuk 12 IM di bawah Komite Perdagangan, pada pertemuan Dewan Menteri OECD di Paris, Juni 2025. Tahap selanjutnya adalah tinjauan teknis yang akan dimulai pada awal 2026.
“Kami sangat mengharapkan dukungan Jerman, termasuk bantuan teknis dan bimbingan ahli sepanjang proses aksesi,” ujarnya.
Dialog ekonomi kedua negara juga akan terus diperkuat melalui forum Joint Economic and Investment Committee (JEIC). Inisiatif yang digagas mencakup pelatihan komprehensif, program magang, hingga beasiswa untuk memperkuat konektivitas antarmasyarakat.
Pertemuan ini turut dihadiri oleh Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Berlin, Fajar Wirawan Harijo, serta Direktur Pengembangan Ekspor Jasa dan Produk Kreatif Kemendag, Ari Satria.