Mengenal Union Busting di Tengah Keberadaan Serikat Pekerja

Jakarta, FORTUNE - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyoroti polemik pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sembilan karyawan yang tergabung dalam Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI). Menurutnya, tindakan itu termasuk dalam praktik Union Busting. Lantas, apa yang dimaksud Union Busting ?
Menurut situs resmi hukumonline.com, Union Busting bisa diartikan sebagai upaya memperdaya serikat pekerja bagi kepentingan majikan atau perlakukan kooptasi pada serikat pekerja. Praktik ini dianggap buruk dan merupakan praktik perburuhan yang tidak sehat. Jadi, secara definisi, Union Busting adalah pemberangusan serikat pekerja.
Upaya pemberangusan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari menaikkan gaji bagi karyawan yang tidak tergabung dalam serikat buruh, sampai dengan PHK sepihak bagi para karyawan yang menjadi sasaran perusahaan.
Biasanya, dalam praktik Union Busting, perusahaan membedakan perlakuan karyawan yang tergabung serikat buruh dengan yang tidak terlibat.
Landasan hukum
Di Indonesia, persoalan Union Busting dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, terutama Pasal 28 dan Pasal 43 ayat (1) UU 21/2000. Sedangkan, dalam UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, disebutkan bahwa pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Dengan demikian, dalam Pasal 28 UU 21/2000 disebutkan bahwa siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh, baik dengan cara PHK, mengurangi atau tak membayar upah, intimidasi, sampai kampanye anti pembentukan serikat buruh.
Dalam regulasi ini, khususnya pasal 43 ayat 1 UU 21/2000, setiap upaya menghalangi atau memaksa pekerja/buruh untuk tidak terlibat dalam kegiatan serikat pekerja/buruh, bisa dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp500 juta.