Biayai Kereta Cepat, Pemerintah Dinilai Kurang Selektif Gunakan APBN

Jakarta, FORTUNE - Ekonom senior Faisal Basri menilai pemerintah kurang selektif dalam menggunakan APBN di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Pasalnya banyak anggaran yang dikeluarkan justru kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.
Ia mencontohkan, rencana alokasi sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) 2020 untuk biaya pembangunan kereta cepat. Padahal belum lama ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan pemerintah bakal menghapus 9 juta orang miskin dari daftar Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2021
"Jadi ayo kita bicara realistis, dan Kementerian Keuangan fungsinya adalah sebagai rem. Jangan hanya mengiyakan yang diinginkan para Menteri dan Presiden. Tunjukan konsekuensinya," ujarnya dalam webinar 'Bincang APBN', Senin (18/10).
Menurut Faisal, bantuan iuran JKN sangat penting bagi masyarakat miskin dengan pengeluaran rata-rata Rp25 ribu per hari. Pasalnya, di tengah pandemi, mereka menjadi kian rentan terserang penyakit dan tak punya cukup pendapatan untuk membayar penuh biaya kepesertaan.
"Jadi penduduk miskin ada 20 juta, yang dibayarkan (PBI) JKN 90 jutaan. Tapi itu hidupnya juga belum tenang karena insecure. Kira-kira pengeluaran mereka per hari Rp25 ribu sebelum pandemi, setelah pandemi dia akan jatuh. Jadi ayo kita perluas (bantuan). Hentikan food estate, ibu kota baru, kereta cepat, kita tidak mati," tuturnya.
Dalam kesempatan sama, Eks Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri menilai bantuan sosial (bansos) tunai sebesar Rp300 ribu-Rp700 ribu tak cukup untuk mendukung kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat.
Ia mengusulkan agar nilainya ditingkatkan menjadi Rp1 juta-Rp1,5 juta dan diberikan dalam kurun 3 bulan. Sebab, jika hal ini tak dilakukan, maka kebijakan pembatasan mobilitas untuk mengendalikan pandemi tak akan efektif.
"Saya tetap orang yang percaya bahwa pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau pandemi ditangani," tuturnya. "Mereka yang punya tabungan bisa tinggal di rumah. Tapi mereka yang miskin tidak mungkin. Kalau orang miskin dia harus kerja harus keluar rumah, nah itu dia perlu diberikan kompensasi.
Selain itu, menurutnya, penyaluran bansos juga harus diperluas ke 40 juta rumah tangga. Berdasarkan hitungannya, pemerintah membutuhkan alokasi dana sekitar Rp120 triliun-Rp240 triliun untuk merealisasikan hal tersebut.
"Perlindungan sosial diperluas, 40 juta rumah tangga. Kalau dikalikan jadi Rp40 triliun, kalau tiga bulan sampai enam bulan itu Rp120 triliun sampai Rp240 triliun," jelas Chatib.