Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Dok. Istimewa

Jakarta, FORTUNE - Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu-bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan pemerintah akan menaikkan tarif royalti batu bara dalam waktu dekat. Akan ada dua Peraturan Pemerintah (PP) yang akan diterbitkan untuk memuluskan rencana tersebut, yakni revisi PP nomor 91 tahun 2018 tentang PNBP dan PP baru tentang Perlakuan Perpajakan Industri Batu-bara.

"PP 91/2018 tentang PNBP antara lain akan mengatur tarif royalti batu bara bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan PP tentang Perlakuan Perpajakan Industri Batu-bara akan mengatur tarif royalti bagi pemegang IUP Khusus Operasi Produksi (IUPK OP)," ungkap Hendra kepada Fortune Indonesia, Jumat (11/3).

Hendra menjelaskan, kontribusi perusahaan tambang batu bara ke negara, baik pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP), selama ini berupa pajak dan non-pajak (PNBP). 

Untuk PNBP, kontribusi terbesar adalah melalui pembayaran iuran produksi (royalti), yang hingga saat ini tarifnya berbeda bagi pemegang PKP2B dan IUP. 

Tarif royalti pemegang PKP2B (generasi 1, 2, dan 3) sebesar 13.5 persen, sedangkan bagi pemegang IUP tarifnya bervariasi yakni 3 persen, 5 persen, dan 7 persen tergantung dari kualitas (kalori) batubara yang diproduksi. Karena itu terdapat disparitas pengenaan tarif royalti yang menyebabkan ketidaksetaraan antara pemegang IUP dan PKP2B.  

Dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang tengah disusun, kata dia, nantinya akan diatur antara lain tarif royalti atau Dana Hasil Pertambangan Batubara (DHPB) untuk pemegang IUP Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) yang merupakan kelanjutan izin dari rezim PKP2B. 

Namun, Hendra belum mengetahui berapa besaran tarif baru yang akan ditetapkan pemerintah. Ia hanya mengatakan bahwa APBI memahami tujuan pemerintah menaikkan tarif royalti baru bara.

"Pada prinsipnya tidak keberatan. Namun, hendaknya kenaikan tarif tersebut tidak terlalu membebani, atau masih dalam batas kemampuan perusahaan, mengingat outlook batubara kedepannya akan semakin berat," tuturnya.

Kendati demikian, belakangan muncul usulan bahwa tarif royalti bagi pemegang IUPK OP adalah sebesar 24 persen dan berlaku bagi batubara yang diekspor. Sedangkan batubara yang dijual ke domestik tarif royaltinya 14 persen dan terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.

"Kabarnya rencana pemerintah menaikkan tarif royalti yang sangat tinggi tersebut untuk mengkompensasi dampak penetapan batu bara sebagai barang kena pajak (BKP) di dalam UU Cipta Kerja," terangnya.

Sebagai informasi, pada dasarnya royalti atau DHPB adalah beban yang ditanggung perusahaan batu bara atas hasil produksinya. Ini berbeda dengan beban PPN sebesar 10 persen atas penjualan batu bara domestik baru yang dipungut penjualan (produsen) kepada pembeli.

Menurut Hendra, perlu pertimbangan matang jika pemerintah memutuskan untuk memisahkan pengenaan tarif royalti antara penjualan domestik dan ekspor. Hingga saat ini pasar domestik batu bara, termasuk untuk keperluan hilirisasi masih jauh lebih kecil dibandingkan pasar ekspor. 

Sehingga untuk kepentingan penerimaan negara dan devisa, ekspor bisa terus dimaksimalkan tanpa mengorbankan semangat pengembangan hilirisasi batubara.

Royalti terlalu tinggi sebabkan batu bara tak ekonomis

Editorial Team

Tonton lebih seru di