Penjualan Eceran Melambat, PHK Disinyalir Pemicu Warga Tahan Belanja

- Penjualan eceran Indonesia melambat secara tahunan pada Maret 2025
- Ekonom menyoroti pentingnya intervensi kebijakan fiskal Pemerintah untuk menahan laju IPR agar tidak semakin jatuh terlalu dalam dan merangkul korban PHK
Jakarta, FORTUNE - Penjualan eceran Indonesia mengalami perlambatan secara tahunan pada Maret 2025. Ekonom menilai, kondisi ini dipicu banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi.
Bank Indonesia mencatat kinerja penjualan eceran yang tercermin dari Indeks Penjualan Riil/IPR pada Maret 2025 hanya tumbuh 5,5 persen. Meski angka ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan tahun lalu maka pertumbuhannya jauh melambat karena IPR Maret 2024 mampu tumbuh 9,3 persen.
Kondisi perlambatan ini diperkirakan terus berlanjut hingga bulan depan. Bank Indonesia memproyeksikan IPR April 2025 bakal terkontraksi 6,9 persen secara bulanan.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan periode awal tahun ini masyarakat memiliki kecenderungan menahan belanja dan hanya membelanjakan uang untuk kebutuhan primer. Fenomena down trading pun mulai terlihat, misalnya permintaan terhadap mobil baru terus terkontraksi, sementara penjualan mobil bekas justru meningkat.
“Jadi meskipun tren kendaraan listrik atau mobil baru sedang tren, tapi kenyataannya tidak menjangkau sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang terdampak PHK. Makanya laju IPR tahun ini melambat dibandingkan dengan tahun lalu. Arus PHK meningkat, tapi pendapatan real masyarakat tidak meningkat signifikan," ujar dia kepada wartawan usai konferensi pers Permata Bank, Kamis (14/5).
Mengatasi Dampak yang Lebih Luas dari PHK
Untuk menahan laju IPR agar tidak makin jatuh terlalu dalam, menurut Josua salah satu intervensi kebijakan fiskal pemerintah melalui pemberian bantuan sosial harus tepat sasaran menjangkau masyarakat berpendapatan rendah.
Ia juga berharap, pemerintah bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi korban PHK agar menopangnya di kelas menengah.
Seperti diketahui, badai PHK terus menggulung sejumlah sektor. Salah satu sektor yang terkena dampak paling besar saat ini adalah industri tekstil dan garmen. Padahal pelemahan atas industri padat karya ini sudah terlihat sejak 10 tahun lalu, bahwa produk tekstil domestik tedys kalah di persaingan global. Namun Pemerintah tampaknya belum fokus merangkul industri ini. Oleh sebab itu harapan dia Pemerintah harus berupaya penuh dalam memberikan insentif untuk memperatahankan sektor padat karya domestik dan merangkul korban PHK.
Josua turut menyoroti peran penting UMKM sebagai tulang punggung ekonomi di daerah yang hingga kini belum dioptimalkan. Ia menilai bahwa sektor UMKM memiliki keterkaitan erat dengan pariwisata, dan dapat menjadi solusi konkret untuk menyerap tenaga kerja yang terdampak PHK.
"Kalau kita bicara tourism, ini erat hubungannya dengan pelaku usaha kecil. Jadi bagaimana supaya yang sebelumnya tadi di PHK ini bisa tetap bekerja, misalnya membuka usaha atau terlibat dalam ekosistem UMKM. Sehingga, dampak ekonomi dari gelombang PHK bisa ditekan, dan pendapatan masyarakat tetap bisa dijaga," ujar dia.
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap sebanyak 73.992 pekerja telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dalam kurun 1 Januari hingga 10 Maret 2025.