Refleksi Hari Buruh, Pengamat: Kesejahteraan Tak Cukup Dengan Retorika

- Hari Buruh Internasional merefleksikan hubungan dunia kerja dan kesejahteraan pekerja
- Pekerja informal & digital masih terpinggirkan meski ada janji perbaikan kondisi buruh
- Kelompok buruh informal masih tinggi, keberadaan mereka tidak terproteksi dalam sistem jaminan sosial nasional
Jakarta,FORTUNE – Tanggal 1 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Namun, momentum ini bukan sekedar perayaan, melainkan merefleksikan kembali hubungan antara dunia kerja dan kesejahteraan pekerja.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, kesejahteraan para buruh tak cukup hanya dengan retorika pidato Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, komitmen politik Presiden harus berpihak terhadap kelompok pekerja yang selama ini cenderung berada di pinggiran kebijakan ekonomi nasional.
Pekerja informal & digital masih jadi sorotan

Dalam pidatonya, Prabowo menyampaikan serangkaian janji yang menunjukkan intensi untuk memperbaiki kondisi buruh secara struktural. Di antaranya adalah pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, pembentukan Satgas PHK, dukungan terhadap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, serta komitmen untuk menghapus sistem outsourcing secara bertahap.
“Meski janji-janji tersebut terkesan progresif dan responsif, namun pidato ini belum menyentuh isu-isu struktural yang kian mendesak. Salah satunya adalah keberadaan pekerja digital atau gig economy seperti pengemudi ojek online, kurir, dan pekerja lepas digital yang tidak terproteksi dalam sistem jaminan sosial nasional,” kata Achmad dalam keterangan tertulis yang dikutip di Jakarta, Jumat (2/5).
Kelompok buruh informal dan kurir ini adalah segmen buruh yang jumlahnya terus bertambah seiring digitalisasi ekonomi, tetapi masih berada di area abu-abu hukum ketenagakerjaan. Sementara, Prabowo juga ingin menghapus outsourcing namun masih belum jelas bagaimana itu akan dilakukan tanpa revisi fundamental terhadap regulasi eksisting.
Ketimpangan akses sosial dan kesejahteraan terjadi di sektor informal

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pekerja sektor informal nasional masih cukup tinggi mencakup 57,95 persen pekerja Indonesia hingga Agustus 2024. Meski Prabowo menjanjikan jaminan kesehatan murah dan pendidikan gratis, meskipun belum ada skema konkret yang ditawarkan untuk menarik para pekerja informal ke dalam sistem perlindungan sosial.
“Dalam konteks ini, Prabowo bisa belajar dari negara seperti Vietnam dan Sri Lanka yang telah menerapkan mekanisme iuran sukarela untuk jaminan sosial dengan skema insentif subsidi,” kata Achmad.
Selain itu, Presiden juga membuat inisiasi untuk melakukan pertemuan 150 pimpinan buruh dan 150 pengusaha di Istana Bogor dalam waktu dekat. Momen ini juga harus dilihat sebagai awal dari dialog sosial tripartit yang lebih substantif dan berkelanjutan, bukan sekadar seremoni simbolik.