Disrupsi Super Shoes: Perang Busa Sepatu

- Fenomena super shoes mengubah parameter performa atletik dan menciptakan ceruk pasar baru.
- Transformasi lanskap alas kaki dari tren minimalis ke sol tebal.
- Komponen kunci super shoes mampu meningkatkan efisiensi lari hingga 4 persen.
Jakarta, FORTUNE - Industri perlengkapan olahraga global kian dalam menuju fase transformasi yang didorong kemajuan teknologi. Salah satunya terjadi pada segmen sepatu, dengan mengemukanya fenomena super shoes. Kemunculannya dianggap dapat mengubah parameter performa atletik sekaligus menciptakan ceruk pasar baru bernilai tinggi.
Laporan dari laman BBC menyoroti bahwa dunia sedang bergerak maju dengan kecepatan luar biasa lewat teknologi sebagai lokomotifnya.
Dalam dunia olahraga, hal ini memicu pertanyaan kritis: sejauh mana inovasi dapat diterima sebelum dianggap melampaui batas? Istilah "doping teknologi" pun muncul demi menggambarkan keuntungan kompetitif dari penggunaan peralatan olahraga canggih.
Menurut BBC, hampir seluruh sepuluh rekor maraton tercepat pria dan wanita dipecahkan dalam tujuh tahun terakhir, yang sebagian besar diatribusikan pada penggunaan sepatu jenis ini.
Berdasarkan laporan Wall Street Journal (WSJ), lanskap alas kaki telah bermetamorfosis dari tren minimalis satu dekade lalu menuju platform sol tebal yang dirancang bagi kecepatan dan kenyamanan.
Transformasi ini membawa kesuksesan besar bagi merek seperti Hoka.
Kevin Kirby, seorang podiatris olahraga, mengungkapkan kepada WSJ saat pertama kali melihatnya, ia merasa produk tersebut tampak seperti "sepatu badut".
Namun, kini setidaknya setengah hingga dua pertiga sepatu yang beredar di pasaran merupakan varian yang mengadopsi teknologi tumpukan sol tinggi serupa.
Secara teknis, BBC memerinci empat komponen kunci super shoes: busa midsole, pelat serat karbon melengkung, tinggi tumpukan (stack height), dan bagian atas yang memiliki sirkulasi udara baik.
Komponen tersebut bersinergi demi memaksimalkan pengembalian energi bagi atlet.
Terkait efektivitasnya, riset yang didanai Nike dan dipublikasikan dalam jurnal Sports Medicine—sebagaimana dikutip BBC—mengklaim teknologi ini mampu menekan hambatan berlari hingga 4 persen.
Namun, ulasan independen terhadap sepuluh studi yang dilaporkan oleh The Conversation menunjukkan angka lebih moderat, yakni sekitar 2,7 persen.
Peko Hosoi, Profesor Teknik Mesin dari MIT, menyebut persaingan antar-merek ini sebagai "perang busa sepatu". Dalam laporan WSJ, merek raksasa seperti Brooks, New Balance, Hoka, dan Nike terus menyempurnakan komposisi dan ketebalan busa. Namun, dominasi teknologi ini memicu reaksi dari otoritas internasional.
Pada 2020, World Athletics menerapkan regulasi ketat, membatasi tinggi tumpukan maksimal 40 mm dan penggunaan hanya satu pelat karbon untuk menjaga level persaingan yang adil.
Di sisi lain, efisiensi ini membawa konsekuensi kesehatan. Menurut The Conversation, ada risiko terjadi cedera baru, seperti patah tulang stres pada bagian tengah kaki akibat kekakuan pelat serat karbon.
Pasalnya, meskipun sol tinggi menyerap benturan, beban kerja justru berpindah ke lutut dan pinggul. Kyle Barnes, profesor ilmu olahraga di Grand Valley State University, menyatakan kepada WSJ bahwa ada konsekuensi yang mesti diterima ketika manusia mengakali mekanisme alami tubuh agar menjadi lebih efisien.
Masa depan industri ini kini mengarah pada personalisasi berbasis data. WSJ melaporkan inovasi dari perusahaan rintisan Avelo, yang menggunakan sensor pintar dan Bluetooth untuk memantau gaya lari pengguna secara real-time. Ambisinya adalah menciptakan sepatu yang didesain khusus bagi anatomi individu.
Bagi pelari amatir, The Conversation memberikan catatan penting: meski super shoes dapat ikut mendorong raihan catatan waktu pribadi, teknologi ini memiliki durasi pemakaian terbatas dan harga jauh lebih mahal.


















