Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
For
You

WEF Proyeksi 2026 Sebagai Tahun Pembuktian Teknologi AI

"Ilustrasi Generasi Z beradaptasi dengan kecerdasan buatan dan teknologi digital menuju Indonesia Emas 2045"
"Ilustrasi Generasi Z di tengah gempuran era digital dan kecerdasan buatan. (Sumber: Pexels/Ron Lach)"
Intinya sih...
  • 2026 menjadi tahun pembuktian bagi teknologi AI
  • Laporan WEF menyoroti dilema lapangan kerja dan paradoks produktivitas AI
  • Konten AI slop membanjiri internet, menciptakan kejenuhan informasi dan kegelisahan Gen Z
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Jika 2025 menjadi puncak euforia kecerdasan buatan (AI hype), maka 2026 diprediksi menjadi tahun pembuktian (AI reckoning) bagi teknologi tersebut.

Meskipun kemampuan AI telah mendorong kemajuan pesat pada sektor kesehatan hingga manufaktur, pengembalian investasi (ROI) pada beberapa bidang masih menunjukkan hasil beragam.

Di tengah ketidakpastian profit pada masa mendatang, antusiasme global untuk memenangi perlombaan teknologi ini tetap menjadi prioritas utama sepanjang 2026, meski diiringi pengeluaran infrastruktur yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Berikut adalah lima paradoks utama yang muncul dalam adopsi AI, menurut World Economic Forum melalui laman resminya, weforum.org.

Dilema lapangan kerja

Laporan Future of Jobs 2025 dari World Economic Forum (WEF) menyoroti pertumbuhan kebutuhan peran baru yang menuntut keterampilan khas manusia. Kemampuan berpikir analitis kini menjadi kompetensi inti yang paling diburu. Pasalnya, 70 persen perusahaan yang disurveri menganggapnya penting, disusul oleh resiliensi, fleksibilitas, dan kepemimpinan.

Data menunjukkan proyeksi terciptanya 170 juta peran baru berbanding dengan 92 juta posisi yang tergeser, menghasilkan kenaikan bersih 78 juta pekerjaan hingga 2030. Namun, kontradiksi muncul saat 40 persen pemberi kerja mengantisipasi pengurangan staf di area yang dapat diotomatisasi, sementara dua pertiga lainnya justru berencana merekrut talenta dengan keahlian spesifik AI.

Paradoks produktivitas

Kecepatan pengembangan teknologi ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan hasil instan. Riset MIT Sloan menemukan perusahaan manufaktur sering kali mengalami penurunan produktivitas pada tahap awal adopsi. Fenomena ini dikenal sebagai kurva-J (J-curve) AI, yang dipicu oleh ketidaksesuaian antara infrastruktur data dan alur kerja lama.

Laporan AI Agents in Action dari WEF juga menegaskan bahwa meski agen AI mampu mempercepat aktivitas, operasionalisasinya tetap membutuhkan evaluasi dan pengawasan manusia yang berkelanjutan.

Ironisnya, pada sektor pengetahuan, laporan MIT Media Lab mencatat 95 persen organisasi belum melihat imbal hasil terukur. Bahkan, beberapa pekerja mengeluhkan munculnya 'workslop'—pekerjaan berkualitas rendah hasil AI generatif yang justru menambah beban kerja manusia untuk memperbaikinya.

AI Slop

Saat ini, jumlah konten buatan mesin pada berbagai ruang digital tengah meledak. Internet dibanjiri oleh konten medioker atau 'AI slop'. Namun, dampak terburuknya adalah lonjakan disinformasi. Jumlah deepfake diproyeksi mencapai 8 juta pada 2025, melonjak 1.500 persen dibandingkan dengan 2023.

Kondisi ini menciptakan kejenuhan informasi yang membuat publik sulit membedakan kebenaran. Di tengah kaburnya batasan antara realita dan kepalsuan, muncul peluang baru: konten hasil karya manusia yang tulen, transparan, dan akurat diprediksi akan memiliki nilai premium.

Kegelisahan Gen Z

Sekitar 47 persen Gen Z memanfaatkan AI generatif setiap minggu, dan 41 persen darinya cemas teknologi ini akan mengikis kemampuan berpikir kritis mereka. Studi MIT bahkan mengaitkan ketergantungan berlebih pada AI dengan penurunan aktivitas otak dan orisinalitas berpikir.

Secara profesional, peran entry-level yang biasanya menjadi pintu masuk bagi pekerja muda mulai tergerus otomatisasi. Hal ini membuat mereka terjebak dalam posisi sulit: dituntut langsung "siap AI," tapi memiliki lebih sedikit peluang untuk belajar langsung di lapangan (on-the-job learning).

Dilema solusi versus energi

Jejak energi AI menjadi tantangan nyata. Pada 2035, pusat data di Amerika Serikat saja diprediksi akan mengonsumsi 8,6 persen dari total listrik nasional. Secara global, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan konsumsi energi pusat data akan berlipat ganda pada 2030 dibandingkan 2024.

Paradoksnya, AI juga merupakan instrumen kunci dalam mempercepat transisi energi bersih. Melalui sistem intelijen, AI mampu mengoptimalkan efisiensi bangunan dan menyeimbangkan jaringan listrik berbasis energi terbarukan.

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us

Latest in Tech

See More

WEF Proyeksi 2026 Sebagai Tahun Pembuktian Teknologi AI

31 Des 2025, 11:13 WIBTech