Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dilema Perang Dagang Trump, Industri Terjepit Tarif dan Emisi

DIPHA PRESS PHOTOS 2024-2.jpg
Dok. YouTube/IESR

Jakarta, FORTUNE - Industri nasional menghadapi tekanan ganda akibat kebijakan proteksionis dan lingkungan dari negara-negara mitra dagang utama. Kebijakan Liberation Day Tariffs yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada April 2025 menjatuhkan tarif dasar 10 persen atas seluruh impor dan tambahan hingga 54 persen bagi negara-negara dengan defisit dagang terhadap AS. Indonesia termasuk dalam daftar negara terdampak, khususnya untuk produk padat karya seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan baja ringan yang dikenai tarif tambahan 32 persen.

Padahal, Amerika Serikat merupakan salah satu pasar ekspor strategis Indonesia dengan kontribusi besar terhadap surplus neraca perdagangan nasional. Selama Januari–Maret 2025, Indonesia mengekspor produk mesin dan peralatan listrik senilai US$1,2 miliar (sekitar Rp20,1 triliun), dan alas kaki senilai US$657,9 juta (sekitar Rp11 triliun), menyumbang 9,01 persen dari total ekspor senilai US$7,3 miliar (sekitar Rp122 triliun).

Akademisi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti dampak strategis kebijakan tarif ini terhadap ekonomi Indonesia. Ia mengacu pada revisi proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,4 persen. “Padahal kalau kita lihat ekspor ke Amerika Serikat hanya mewakili 2,2 persen dari PDB,” ujarnya dalam diskusi virtual "Perang Dagang vs Perang Iklim: Industri Indonesia Dihimpit Dua Tantangan" yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Jumat (9/5).

Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. “Vietnam, ekspor ke Amerika itu 33 persen dari PDB tapi oleh IMF direvisi 0,9 persen, Meksiko ekspor ke AS 28,5 persen PDB tapi direvisi 1,7 persen, Malaysia 13,5 persen direvisi 0,6 persen, Thailand 12,8 persen juga 0,6 persen,” ujarnya.

Namun ia menegaskan, meski nilai ekspor Indonesia ke AS relatif kecil, “Surplus kita mewakili hampir 50 persen dari total surplus, jadi 45,6 persen. Jadi ketika kita negosiasi dan surplus itu hilang maka kita kehilangan surplus yang luar biasa, current account defisit semakin menganga, suku bunga naik, dan sebagainya.”

Wijayanto juga mengingatkan potensi serbuan barang impor dari negara-negara yang terdampak perang dagang seperti Cina, India, dan Vietnam. “Kalau trade war ini terjadi seperti prediksi IMF maka akan banyak produk dari Cina, India, Vietnam yang banjir ke Indonesia. Ini menekan pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Dari sisi pelaku industri, Devi Kusumaningtyas, Kepala Urusan Pemerintahan dan Publik Asia Tenggara Nike, menyatakan kebijakan Trump ini menimbulkan ketidakpastian serius di sektor padat karya. “Ini momentum di mana pemerintah memperhatikan pelaku padat karya, alas kaki, pakaian jadi, atau tekstil,” katanya.

Devi menjelaskan, struktur rantai pasok Nike sangat bergantung pada Asia Tenggara, di mana 80 persen produksi alas kaki berada. “50 persen di Vietnam, 30 persen di Indonesia, 10 persen Cina, sisanya India. Ini menandakan untuk supply chain footwear susah berpindah,” jelasnya.

Namun ia menyoroti mahalnya biaya logistik ke Indonesia. “Kenapa kalau kita mau impor ke Indonesia sebagai perusaaan global supply chain itu susah banget. Cost untuk mendatangkan barang ke Indonesia paling mahal dibanding ke seluruh negara di Asia Tenggara,” ujarnya.

Nike sendiri memproduksi 200 juta pasang sepatu global per tahun di Indonesia, di mana 90 persen dari produksi tersebut diekspor. “Sebenarnya tarif Trump juga berdampak ke retail marketplace dan operasional kami,” tambahnya.

Transisi hijau dan tekanan Biaya

Meskipun menghadapi tekanan dagang, industri tetap menjalankan upaya keberlanjutan. "Kuncinya transisi ke listrik yang lebih ramah lingkungan. Pabrik rekanan Nike menggunakan energi terbarukan, memasang solar panel (PLTS atap)," kata Devi. Ia menegaskan langkah ini sejalan dengan target net-zero emission dari berbagai merek global.

Namun, kebijakan tarif baru Presiden Trump berpotensi memperlambat transisi energi bersih secara global. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Environmental Science & Technology, perang dagang AS-Tiongkok dapat menyebabkan peningkatan emisi karbon global, terutama akibat perubahan penggunaan lahan di negara-negara seperti Brasil dan Argentina, serta peningkatan emisi di negara berkembang seperti Vietnam dan India karena efek skala produksi.

Selain itu, tarif terhadap produk energi bersih seperti panel surya, kendaraan listrik, dan baterai dapat meningkatkan biaya produksi dan menghambat adopsi teknologi hijau. Hal ini dapat memperlambat pencapaian target pengurangan emisi global dan mengganggu rantai pasok energi bersih.

Di Indonesia, tekanan ini semakin berat karena industri harus berinvestasi dalam teknologi rendah karbon untuk memenuhi komitmen iklim nasional, sementara menghadapi risiko kenaikan biaya dan akses pasar akibat tarif dagang. Tekanan ganda ini membutuhkan strategi nasional yang tangguh dan adaptif, tidak hanya bertumpu pada insentif teknologi atau instrumen harga karbon, tapi juga mencakup diplomasi dagang, reformasi kebijakan fiskal, dan penguatan koordinasi lintas sektor.

Dewi Muliana, Direktur Akses Industri Internasional di Kementerian Perindustrian, mengakui tantangan yang dihadapi industri padat karya. “Betul, kebanyakan industri yang melakukan perdagangan dengan AS adalah padat karya, maka langkah strategisnya adalah kita sudah mulai membuat strategi bagaimana melindungi industri padat karya,” ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
pingit aria mutiara fajrin
Editorpingit aria mutiara fajrin
Follow Us