Dorong Strategi Pemulihan, Starbucks Pangkas Biaya Renovasi

Jakarta, FORTUNE - Starbucks tengah menggencarkan strategi pemulihan kinerja di tengah tantangan penurunan penjualan yang dihadapi. Salah satu langkah fundamental yang diambil adalah pemangkasan drastis biaya renovasi toko, dari jutaan dolar Amerika Serikat per lokasi menjadi hanya ratusan ribu dolar saja. Kebijakan efisiensi ini dikonfirmasi langsung oleh CEO Starbucks, Brian Niccol, sebagai bagian dari upaya restrukturisasi perusahaan mengembalikan profitabilitas dan daya tarik merek.
Sebelumnya, Starbucks terbiasa menggelontorkan dana US$800.000 hingga US$1 juta (setara Rp12 miliar–16 miliar dengan kurs saat ini) untuk merenovasi satu toko.
Kini, perusahaan tersebut memperkenalkan pendekatan anyar bernama coffeehouse uplift, sebuah program penyegaran toko dengan anggaran US$150.000 per toko atau bahkan kurang.
Fokusnya adalah perbaikan ringan seperti penggantian furnitur dan pengecatan ulang, tanpa renovasi struktural besar seperti pembaruan instalasi listrik atau perpipaan.
Niccol mengakui dalam pertemuan internal perusahaan, strategi renovasi lama terbilang boros. “Kami dulu membangun toko yang sangat mahal, tapi tampilannya biasa saja—jadi sebenarnya enggak bisa lebih buruk dari itu. Tempat duduknya jelek dan harganya sangat mahal,” ujarnya, dilansir Bloomberg, Senin (5/5). Ia menambahkan, “secara finansial [pengeluaran] itu benar-benar sulit dijustifikasi.”
Langkah efisiensi biaya renovasi ini merupakan bagian integral dari rencana transformasi empat tahap bertajuk Back to Starbucks. Rencana ini diumumkan Niccol sejak ia menjabat sebagai CEO pada September lalu, dengan tujuan mengembalikan kejayaan Starbucks sebagai “tempat ketiga”—ruang nyaman antara rumah dan kantor bagi pelanggan.
Meski demikian, sejumlah analis menilai strategi ini bukanlah solusi instan membalikkan keadaan. Sean Dunlop, analis senior ekuitas di Morningstar, mengatakan, “jika dilihat satu per satu, ada penurunan penjualan, investasi operasional, pengeluaran modal (capex) untuk toko baru, dan pertumbuhan toko yang melambat. Semua itu menjadi sinyal negatif dari perspektif pemegang saham.”
Menurut Dunlop, Starbucks telah menghadapi berbagai tantangan dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari persaingan yang semakin ketat, tekanan ekonomi, hingga kesalahan strategi di bawah kepemimpinan sebelumnya.
Data menunjukkan penjualan toko sebanding secara global tercatat turun 2 persen pada tahun fiskal 2024, sementara trafik pelanggan di Amerika Utara anjlok hingga 10 persen pada kuartal keempat.
Ia secara spesifik menilai, kesalahan besar mantan CEO, Laxman Narasimhan, berasal dari kebijakan yang memperburuk operasionalisasi toko, seperti memperkenalkan paket makanan, mengurangi staf, dan meremehkan kompleksitas penyajian minuman baru.
“Kesalahan terbesarnya adalah saat memutuskan bergabung dengan Starbucks,” kata Dunlop.
Di sisi lain, Niccol dianggap mewarisi “merek yang sedang bermasalah”, tapi analis menilai ia punya peluang untuk membalikkan keadaan. “Dia bisa menyalahkan semua hal pada pendahulunya selama beberapa kuartal ke depan, dan saat inisiatifnya mulai membuahkan hasil, pengeluaran konsumen diprediksi pulih pada paruh akhir tahun 2025,” ujar Dunlop.
Selain efisiensi biaya dan strategi besar, Starbucks juga melakukan inovasi konkret dalam pelayanan dan pengalaman di dalam toko. Misalnya, mempercepat waktu penyajian pesanan maksimal empat menit, terutama pada jam sibuk pagi hari.
Upaya ini didukung oleh penambahan staf dan penerapan teknologi, termasuk algoritma penentuan prioritas pesanan.
Perubahan di dalam toko pun terus dilakukan: dari pembaruan estetika dan desain interior, menyediakan kursi yang lebih nyaman, hingga kembalinya cangkir keramik dan meja bumbu. Semua ini demi mengembalikan Starbucks sebagai tempat yang nyaman untuk bersantai, bekerja, atau bertemu.
Meskipun masih mengalami penurunan penjualan untuk kuartal kelima berturut-turut hingga April, ada sinyal perbaikan pada metrik tertentu. CFO Cathy Smith menyatakan, trafik pelanggan non-anggota loyalitas mulai stabil dan pangsa pasar Starbucks menunjukkan tren peningkatan. Informasi ini dilaporkan Financial Times pada 5 Mei.
Namun, tekanan terhadap profitabilitas masih tinggi. Laporan keuangan terbaru menunjukkan laba per saham menurun akibat besarnya biaya yang dikeluarkan untuk transformasi. Bahkan, Moody’s Ratings menurunkan prospek Starbucks dari “stabil” menjadi “negatif”, dengan alasan “melemahnya profitabilitas dan indikator keuangan”, yang sebagian diakibatkan oleh investasi tenaga kerja dalam program reinvensi.
Niccol mengatakan kepada analis bahwa membangun bisnis yang lebih baik harus dimulai dari pengelolaan anggaran yang bijak.
Dalam pertemuan internal, ia pun meminta seluruh tim untuk mengevaluasi setiap pengeluaran, dengan pertanyaan kunci: “Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah ini mendukung strategi dan taktik ‘Back to Starbucks’?”
Ia menambahkan, “Kalau tidak, saya dorong kalian untuk berpikir, ‘Hmm, mungkin kita nggak perlu menghabiskan uang untuk hal ini.’”
Rencana ambisius ini masih akan memakan waktu dan dampaknya belum tentu terlihat instan. Namun bagi Starbucks, mengendalikan biaya sambil secara fundamental meningkatkan pengalaman pelanggan adalah fondasi dari transformasi jangka panjang yang sedang mereka perjuangkan.