BUSINESS

Serapan Domestik Rendah, AETI Keberatan Larangan Ekspor Timah

70 persen pertambangan timah dilakukan masyarakat.

Serapan Domestik Rendah, AETI Keberatan Larangan Ekspor Timahilustrasi : timah batangan yang siap untuk dipasarkan (Shutterstock)
29 November 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) Alwin Albar meminta pemerintah mempertimbangkan ulang larangan ekspor timah batangan atau tin ingot sebagai program hilirisasi mineral tambang. Sebab, sampai saat ini serapan timah batangan di pasar domestik masih sangat kecil.

Sebagai gambaran, pada 2021, volume ekspor timah mencapai 74.405 metrik ton (mt), sementara penjualan di dalam negeri hanya mencapai 3.225 mt. Demikian pula di 2019 dan 2020 yang penjualan ekspornya mencapai 67.800 mt dan 65.150 mt, sementara serapan pasar domestiknya hanya sebesar 3.240 mt dan 2.820 mt.

"Ketika dilakukan larangan ekspor mendadak dan kondisi pasar domestik belum mampu menyerap produksi yang ada, maka akan terjadi dampak signifikan di tambang, peleburan dan pemurnian," ujar Alwin di Komisi VII DPR RI, Senin (28/11).

Lagi pula, menurut Alwin, pengusaha timah dalam negeri telah melakukan hilirisasi sejak lama. Bahkan, sebelum Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) disahkan, pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) nomor 443 tahun 2002 telah melarang ekspor timah dalam bentuk material mentah (raw material).

PT Timah Tbk bahkan telah memiliki produk turunan tin ingot, yaitu soldier dan chemical. "Cuma kapasitas pemakaian timahnya kurang dari 3.000 ton dibandingkan produksi Indonesia yang sekitar 70-80 ribu ton setahun," jelasnya. 

Berdampak ke pekerja

Selain masalah pasar yang belum terbentuk, Alwin juga mengingatkan pemerintah bahwa sebagian besar pertmbangan timah di Indonesia dilakukan langsung oleh masyarakat. Hanya sekitar 30 persen, kata dia, proses penambangan yang dilakukan oleh industri mulai dari kapal keruk, kapal hisap hingga ke proses industri peleburan dan pemurnian (smelter).

Berdasarkan data AETI sendiri, ada 163.026 tenaga kerja di pertambangan timah pada 2021. "Intinya proses bisnis pertimahan, karena bentuk depositnya agak unik, penambangan dilakukan kira-kira 70 persen oleh masyarakat, yang industri skalanya 30 persen," tuturnya.

"Khawatirnya karena 70 persen dilakukan masyarakat ada isu-isu. Jadi kita harus lakukan regulasi yang digodok pemerintah mampu mempertimbangkan dari aspek itu," imbuh Alwin.

Asosiasinya juga menaruh perhatian khusus terhadap perekonomian Bangka Belitung yang berpotensi terpukul akibat kebijakan larangan ekspor timah batangan. Pasalnya, industri timah berkontribusi terhadap PDRB sebesar 30,4 persen di 2021. 

"Lalu hilangnya pendapatan negara karena ekspor ingot timah tidak ada, dan pendapatan royalti yang senilai Rp1-2 triliun bisa hilang sementara sampai kita bisa melakukan pasarnya," terangnya.

Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga perlu mengantisipasi maraknya aksi penyelundupan yang dilakukan oleh masyarakat menggunakan kapal-kapal nelayan. "Karena timah, kecil saja volumeny saja sudah satu ton. Jadi dia sangat mudah diselundupkan," tuturnya.

Butuh insentif

Alwin juga menyampaikan bahwa pengusaha membutuhkan kebijakan insentif jika larangan ekspor tetap diberlakukan.  Sebab, jika tidak, mereka bisa kesulitan. Apalagi, pasar dalam negeri juga dipenuhi oleh timah impor.

"Kami juga punya data bahwa 2021 ada 11 ribu ton soldier yang diimpor. Kalau kami dilarang ekspor ingot. Mohon yang impor juga dilarang agar produk dalam negeri dapat diserap pasar dalam negeri," tuturnya.

Menurut Alwin, impor tersebut disebabkan oleh pertimbangan fiskal yang kurang adil. Sebagai contoh, jika PT Timah Tbk menjual tin ingot ke anak usahanya, mereka akan dikenakan PPN 11 persen.

"Sementara kalau pabrik lain, impor masuk ke master list, pajaknya nol persen. Jadi di situ saja kami secara bisnis tidak kompetitif," tandasnya.

Related Topics