Harga Batu Bara Menuju Rekor Tertinggi Imbas Konsumsi Cina dan India

Jakarta, FORTUNE - Harga batu bara untuk pembangkit listrik melesat mendekati rekor tertingginya akibat lonjakan permintaan dari Tiongkok dan India. Harga batu bara acuan bertengger pada level US$177,50 per ton pada 10 September, naik lebih dari dua kali lipat dari harga di awal tahun dan lebih tinggi US$50 dibandingkan periode sama tahun lalu.
Harga tersebut juga merupakan yang tertinggi dalam 11 tahun terakhir dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa yakni sekitar US$180-an per ton pada Juli 2008.
Selain lonjakan permintaan, kian seretnya investasi pada sektor energi kotor juga jadi salah satu penyebab melesatnya harga. Jika terus berlanjut, konsumsi batu bara oleh Tiongkok dan India tersebut dapat mengerek biaya produksi yang ujungnya mendorong tagihan energi dan berdampak pada kegiatan ekonomi.
"Apa yang kami lihat adalah dilema bagi investor, pemodal, dan juga perusahaan," kata Shirley Zhang, analis utama di Wood Mackenzie, seperti dikutip Nikkei Asia, Senin (13/9). "Meskipun ada upaya untuk memindahkan seluruh kawasan ke masa depan yang lebih bersih, Anda masih membutuhkan batu bara untuk 10 tahun ke depan."
Memang, bukan hanya batu bara yang mengalami kenaikan harga tahun ini. Hampir semua komoditas, mulai dari aluminium hingga tembaga telah melonjak karena mulai pulihnya permintaan. Namun di antara itu semua, kenaikan harga batu bara hingga 110 persen tetap paling menonjol.
Perlu diketahui, Tiongkok dan India merupakan dua importir terbesar dan penyumbang 65 persen dari seluruh penggunaan batu bara global. Menurut Biro Statistik Nasional China, produsen listrik utama negeri mereka menghasilkan listrik 13,2 persen lebih banyak dalam tujuh bulan pertama tahun ini dibandingkan 2020.
Penggunaan batu bara kian meningkat salah satunya karena karena kekeringan yang menyebabkan output lebih rendah dari pembangkit listrik tenaga air mereka. Pada Juli 2021, misalnya, Tiongkok mengimpor batu bara 16 persen lebih banyak dari bulan yang sama tahun lalu.
Sementara di Tiongkok, setelah mengalami peningkatan kasus Covid-19 akibat varian Delta, pemulihan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ke rekor tertinggi mengerek konsumsi listrik yang tidak dibarengi dengan pertumbuhan pasokan. Hanya ada sedikit insentif untuk investor baru di sektor ketenagalistrikan akibat kebijakan pembatasan penggunaan batu bara.
"Keseimbangan antara penawaran dan permintaan cenderung mudah terganggu karena hanya ada sedikit investasi baru di tambang batu bara," kata analis batu bara Nobuyuki Kuniyoshi dari Japan Oil, Gas and Metals National Corp. (Jogmec). "Produsen batu bara memiliki sedikit insentif untuk berproduksi. lebih banyak batu bara dan menurunkan harga karena mereka tidak melihat risiko pangsa pasar mereka diambil oleh pesaing baru," tambahnya.
Dampak Pembatasan Ekspor Indonesia
Sejak melarang impor dari Australia di tengah meningkatnya ketegangan politik dan perang dagang dengan Canberra, Tiongkok lebih mengandalkan Indonesia dan Rusia sebagai pemasok batu bara mereka.
Namun belakangan, Indonesia mulai membatasi pengiriman ke luar negeri lantaran produksi dalam negeri terganggu. Pemerintah sendiri telah melarang ekspor 34 perusahaan pertambangan yang tak menaati aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan mencari keuntungan dengan mengutamakan pelanggan luar negeri.
Memang, pemerintah membatalkan larangan ekspor batu bara untuk tiga perusahaan termasuk PT Arutmin, anak usaha PT Bumi Resources, setelah mereka memenuhi kewajiban pasar domestik pada Agustus. Namun, seorang produsen mengatakan pembatasan pada beberapa perusahaan diperkirakan akan berlanjut setidaknya sampai akhir tahun ini.
Sementara itu, Australia yang merupakan produsen batu bara terbesar di dunia telah memangkas kapasitas produksi dan mengurangi tenaga kerja sektor pertambangan lalu. Kuniyoshi menuturkan, Negeri Kangguru masih tetap berhati-hati untuk meningkatkan kembali produksi batu bara secara besar-besaran mengingat kemungkinan penyusutan permintaan akan terjadi dalam jangka panjang.
Tiongkok dan India Kurangi Penggunaan Batu Bara
Kendati konsumsi emas hitam di Tiongkok masih cukup tinggi, namun pemerintah negara tersebut berkomitmen untuk mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap mulai 2026 sebagai bagian dari upayanya untuk memangkas emisi gas rumah kaca.
Ini berarti, konsumsi Tiongkok akan mencapai puncaknya pada 2025 dan mulai turun setelahnya. Presiden Tiongkok, Xi Jinping, juga telah berjanji membawa emisi Tiongkok ke puncaknya sebelum 2030 dan menjadikan negara itu "netral karbon" pada 2060.
Sementara itu, India berencana menjadikan 60 persen kapasitas pembangkit listriknya dari sumber energi bersih pada 2030, terutama dengan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan.
Penurunan konsumsi batu bara juga beriringan dengan turunnya minat investor, perbankan serta lembaga pembiayaan lain untuk memodali produksi komoditas tersebut.
Namun seorang produsen mengatakan kepada Nikkei bahwa dampak tingginya harga batu pada transisi menuju energi bersih di negara-negara Asia masih terbatas dalam jangka pendek. Batu bara "tetap kompetitif" bahkan mengingat lonjakan baru-baru ini sementara harga gas alam cair—alternatif termudah—juga meningkat, katanya.
Kendati demikian, Kuniyoshi memperingatkan bahwa risiko ekonomi dari kenaikan harga batu bara di kawasan Asia Pasifik akan tetap ada selama bahan bakar fosil tetap menjadi sumber energi utamanya.