Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Peluang Renegosiasi Dagang Indonesia-AS Terbuka Usai Putusan Baru Tarif Trump

ilustrasi kapal kargo ekspor (pexels.com/Tom Fisk)
ilustrasi kapal kargo ekspor (pexels.com/Tom Fisk)
Intinya sih...
  • Pengadilan AS menyatakan tarif global Trump ilegal
  • Kesepakatan resiprokal dengan Indonesia terdampak
  • Indonesia harus siapkan strategi renegosiasi dengan AS
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Putusan pengadilan banding Amerika Serikat (AS) yang menyatakan tarif global rilisan Presiden Donald Trump ilegal dinilai membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan renegosiasi dagang Indonesia-AS. Para ekonom mendorong pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk meninjau ulang kesepakatan tarif resiprokal yang dianggap lebih banyak merugikan kepentingan nasional.

Pengadilan banding AS (The US Court of Appeals for the Federal Circuit) dalam putusannya pada Jumat (29/8) menguatkan vonis sebelumnya yang menyatakan Trump melampaui wewenang saat memberlakukan tarif. Meski begitu, tarif tersebut untuk sementara tetap berlaku sambil menunggu proses hukum lebih lanjut.

Kondisi ini menciptakan momentum sekaligus ketidakpastian. Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, Indonesia sepatutnya proaktif memulai negosiasi ulang.

“Karena masih ada rentang waktu untuk bernegosiasi, sebetulnya masih ada kesempatan untuk kemudian bernegosiasi kembali dengan pihak AS,” ujarnya saat diskusi virtual, Senin (9/1).

Meski demikian, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, mengingatkan agar pemerintah tetap waspada. Proses hukum yang belum final bisa berlanjut hingga tingkat Mahkamah Agung AS.

“Kalau memang dibatalkan, tentu kabar baik. Tapi jangan lupa, proses banding bisa berlanjut hingga Mahkamah Agung AS. Jadi kita harus menyiapkan mitigasi risiko sambil menunggu kepastian implementasi,” kata Esther.

Sebelumnya, Indonesia telah menyepakati tarif resiprokal sebesar 19 persen. Namun, kesepakatan itu disertai konsesi non-tarif yang berat, seperti pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), penghapusan larangan ekspor mineral kritis, hingga kewajiban pembelian produk energi dan pertanian AS.

Menurut Faisal, kesepakatan ini menempatkan ekspor Indonesia dalam posisi yang kurang menguntungkan. Dari sisi tarif, angka 19 persen setara dengan Malaysia (19 persen) dan tidak jauh dari Vietnam (20 persen). Namun, Indonesia kalah saing dari sisi biaya logistik dan harus memberikan konsesi non-tarif yang jauh lebih besar.

Dampak tarif ini juga sudah dirasakan melalui penurunan permintaan di pasar AS akibat harga barang impor yang lebih mahal bagi konsumen. “Dampak paling cepat terasa adalah penurunan demand di Amerika. Kalau tarif ini benar-benar dibatalkan, risiko penurunan permintaan terhadap produk kita bisa teredam,” kata Faisal.

Namun, ia menambahkan bahwa pembatalan tarif saja tidak serta-merta mengubah peta persaingan secara drastis.

“Kalau dibatalkan juga bergantung nanti bagaimana detailnya. Tapi perkiraan saya untuk kacamata sekarang tidak banyak mempengaruhi,” kata Faisal, merujuk pada tantangan fundamental daya saing produk Indonesia di luar isu tarif.

Jika tarif benar-benar dicabut, bea masuk dapat kembali ke posisi 10 persen. Namun, selama putusan belum final, Indonesia masih terikat pada konsekuensi kesepakatan resiprokal yang telah berjalan.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us