- Pengadaan pesawat senilai US$3,2 miliar.
- Pembelian produk pertanian (kedelai, gandum, kapas) senilai US$4,5 miliar.
- Pembelian produk energi (LPG, minyak mentah, dan bensin) senilai US$15 miliar.
Putusan Terbaru Tarif Trump Dinilai Bisa Ubah Arah Kesepakatan RI-AS

- Putusan pengadilan banding AS menyatakan tarif Trump ilegal
- Kesepakatan dagang RI-AS bisa kembali ditinjau dan batal
- Trump masih menyiapkan langkah hukum lanjutan ke Mahkamah Agung AS
Jakarta, FORTUNE - Pengadilan banding federal Amerika Serikat (AS) memutuskan bahwa kebijakan tarif impor global yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump ilegal. Putusan yang diketuk pada Jumat (29/8) ini berpotensi mengubah dinamika kesepakatan dagang antara Indonesia dan AS, bahkan berisiko membatalkan perjanjian yang telah disepakati.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, menyatakan putusan tersebut membuka peluang batalnya kesepakatan tarif resiprokal yang telah diperjuangkan. Akibatnya, perjanjian yang telah dicapai sebelumnya bisa saja ditinjau kembali.
“Kami sudah antisipasi, tapi detailnya masih menunggu dari tim perunding. Kalau enggak jadi [dijalankan], ya, kami runding lagi. Saat ini memang prosesnya belum selesai,” kata Benny saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (4/9).
Sebelumnya, Indonesia dan AS telah menyepakati tarif resiprokal sebesar 19 persen, turun dari semula 32 persen, setelah melalui proses lobi yang panjang. Kesepakatan ini dianggap sebagai terobosan penting untuk mengurangi tekanan tarif terhadap produk-produk Indonesia di pasar AS.
Meski pengadilan telah memutuskan kebijakannya ilegal, pemerintahan Trump dilaporkan tetap menyiapkan langkah hukum lanjutan ke Mahkamah Agung AS. Laporan Reuters menyebutkan strategi tarif ini merupakan pilar kebijakan luar negeri Trump yang menggunakan tarif impor sebagai instrumen tekanan politik dan alat renegosiasi perjanjian dagang.
Benny mengingatkan, risiko pembatalan tidak hanya berhenti pada isu tarif. Sejumlah kesepakatan bisnis bernilai miliaran dolar yang berjalan beriringan juga bisa terancam.
"Mungkin bisa batal," ujarnya.
Kesepakatan non-tarif tersebut mencakup:
Menghadapi ketidakpastian ini, Benny menegaskan Indonesia perlu menyiapkan skenario baru untuk melindungi kepentingan nasional.
“Detailnya ada di Kemenko Ekonomi. Kalau memang nanti ada perubahan, tentu kita harus siap untuk renegosiasi,” katanya.