Perbanas Optimistis Kredit Tumbuh 10,6% Meski Melambat pada Awal Tahun

- Pertumbuhan kredit di Indonesia melambat pada awal 2025.
- Kondisi melemahnya daya beli merupakan penyebab utama perlambatan pertumbuhan kredit.
- Perbanas tetap optimistis terhadap pertumbuhan kredit pada akhir 2025.
Jakarta, FORTUNE - Meskipun pertumbuhan kredit pada awal 2025 menunjukkan sedikit perlambatan, Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) tetap mempertahankan optimisme terhadap prospek pertumbuhan kredit di Indonesia sepanjang tahun ini.
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata pertumbuhan kredit sepanjang 2024 berada pada level 10,4 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). Namun, data OJK pada awal Januari 2025 menunjukkan pertumbuhan kredit 10,3 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan angka pada Januari 2023 yang mencapai 11,8 persen.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit konsumsi sekitar 9 persen YoY pada Februari 2025.
Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perbankan (PKEP) Perbanas, Aviliani, menilai kondisi daya beli masyarakat menjadi faktor utama penyebab perlambatan tersebut.
Oleh karena itu, ia berharap momentum Ramadan tahun ini dapat kembali mendongkrak pertumbuhan kredit, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya saat pertumbuhan kredit tertinggi tercatat pada periode Maret-April dengan kisaran 12-13 persen.
"Siklus kredit masyarakat biasanya dipengaruhi oleh tiga periode, yaitu Ramadhan dan Idul Fitri, periode awal masuk sekolah (Juni-Juli), dan periode Natal dan Tahun Baru," kata dia dalam sebuah laporan yang dirilis Perbanas, Selasa (25/3).
Kendati tantangan ekonomi global masih membayangi, Aviliani menegaskan keyakinannya terhadap pertumbuhan kredit di Indonesia. Bahkan, Perbanas menargetkan pertumbuhan kredit 10,6 persen pada akhir 2025, lebih tinggi 1 persen dibandingkan dengan capaian pada 2024.
Optimisme ini, menurut Aviliani, tidak terlepas dari dorongan pemerintah yang menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Namun demikian, Perbanas tetap memberikan catatan penting terkait potensi risiko yang perlu diwaspadai, yaitu masih lemahnya daya beli masyarakat serta semakin ketatnya kondisi likuiditas pada sektor perbankan. Hal ini tecermin pada pertumbuhan kredit yang relatif tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cenderung melambat.