APBBI: Daya Beli Melemah, Masyarakat Berburu Barang Murah

- Masyarakat berburu barang dengan harga terjangkau
- Permintaan barang murah meningkat akibat penurunan daya beli
- APPBI dan pemerintah siapkan program untuk menghadapi low season panjang usai Idulfitri
Jakarta, FORTUNE - Penurunan daya beli masyarakat kelas menengah di Indonesia mulai menciptakan pola belanja baru. Meski tetap berbelanja, masyarakat kini lebih selektif dalam memilih produk dan cenderung mencari barang dengan harga lebih terjangkau.
Gejala ini diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja.
"Sekarang yang diburu itu adalah barang-barang dengan harga satuan rendah, unit price kecil. Itu yang terjadi di pasar saat ini. Makanya, banyak peritel dengan kategori produk seperti ini yang terus bertumbuh," kata Alphonzus saat ditemui di Lippo Mall Nusantara, Jakarta, Jumat (15/3).
Alphonzus menjelaskan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, masih belum sepenuhnya pulih setelah pandemi. Kondisi ekonomi yang belum stabil membuat mereka lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.
"Masyarakat masih terganggu secara finansial, jadi mereka cenderung mencari barang murah. Itu sebabnya produk dengan harga rendah lebih banyak diminati," ujarnya.
Dampak dari kondisi ini bukan hanya pada pergeseran pola belanja, tetapi juga memicu peningkatan impor ilegal. Barang-barang murah yang masuk secara ilegal semakin marak karena tidak dikenakan bea masuk dan pajak, sehingga harganya lebih kompetitif dibanding produk lokal.
Impor ilegal dan perang dagang bisa perparah kondisi
Menurut Alphonzus, meningkatnya permintaan barang murah berpotensi memperparah masuknya produk ilegal, terutama dari Cina. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina yang semakin memanas membuat produk Cina lebih sulit masuk ke pasar Amerika, sehingga banyak yang dialihkan ke Indonesia, baik melalui jalur legal maupun ilegal.
"Kalau masuknya secara legal, masih bisa dikendalikan. Tapi kalau secara ilegal, ini jadi masalah besar bagi industri manufaktur dalam negeri," katanya.
Ia menegaskan pemerintah harus mengambil langkah serius untuk menekan arus impor ilegal agar industri dalam negeri tidak semakin terpukul.
Strategi low season panjang usai Idulfitri
Alphonzus juga menyoroti periode low season atau musim sepi belanja yang terjadi setelah Idulfitri. Tahun ini, Ramadan dan Idulfitri datang lebih awal, sehingga jarak antara musim belanja terbesar (Ramadan dan Idulfitri) dengan Natal dan Tahun Baru menjadi lebih panjang. Kondisi ini dikhawatirkan akan memperburuk dampak penurunan daya beli masyarakat.
"Tahun lalu, low season-nya cukup dalam akibat daya beli yang masih rendah. Tahun ini, meski daya beli mulai pulih, periode low season-nya akan lebih panjang," ujarnya.
Untuk mengantisipasi hal ini, APPBI dan pemerintah telah menyiapkan berbagai program dan kegiatan guna menjaga agar kondisi tidak semakin buruk. Beberapa program nasional seperti libur sekolah dan perayaan Proklamasi Kemerdekaan telah diinisiasi, tapi itu belum cukup, kata Alphonzus.
"Setiap wilayah dan pusat perbelanjaan juga harus menggelar berbagai kegiatan lokal untuk mendongkrak kunjungan dan transaksi. Jika tidak, low season kali ini bisa lebih dalam dibanding tahun sebelumnya," ujarnya.
Dengan pola belanja yang berubah dan tantangan ekonomi yang masih berlangsung, pelaku usaha ritel diharapkan dapat beradaptasi dan menemukan strategi baru agar tetap bertahan di tengah dinamika pasar yang semakin kompetitif.