Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dampak Perang Iran-Israel terhadap Ekonomi Indonesia

ilustrasi Perang Dunia 2 (unsplash.com/Rodrigo Rodriguez)
Intinya sih...
  • Lonjakan harga minyak dunia hingga mencapai USD75 per barel akibat konflik Iran-Israel.
  • Perlambatan ekonomi global dapat menurunkan volume ekspor Indonesia.
  • Konflik di Timur Tengah memicu volatilitas nilai tukar rupiah dan IHSG serta dapat mengganggu stabilitas fiskal.

Jakarta, FORTUNE – Dampak perang Iran-Israel terhadap ekonomi Indonesia mulai terasa setelah eskalasi konflik di Timur Tengah meningkat dan melibatkan Amerika Serikat. Situasi ini menimbulkan berbagai risiko ekonomi, terutama terkait harga komoditas energi, stabilitas keuangan, dan kinerja ekspor nasional.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa konflik tersebut berpotensi menimbulkan dua risiko besar bagi Indonesia. Pertama, melonjaknya harga energi. Kedua, terjadi pelemahan ekonomi global.

"Itu kombinasi yang harus kita waspadai," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta.

Lonjakan harga minyak

Salah satu dampakyang paling cepat dirasakan adalah naiknya harga minyak global. Pada hari pertama pecahnya konflik, harga minyak mentah dilaporkan sudah mencapai 9 persen.

Mengacu pada data Trading Economics per 16 Juni 2025, harga minyak dunia hampir menyentuh USD75 per barel. Harga ini mencapai level tertinggi dalam enam bulan terakhir.

Kenaikan tersebut dipicu oleh serangan terhadap infrastruktur energi di kawasan Semenanjung Persia. Akibatnya, daoat mempengaruhi harga energi dalam negeri serta menambah beban subsidi dan kompensasi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Saat ini, harga minyak dunia masih berada di bawah asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN 2025, yaitu USD82 per barel. Namun, peningkatan harga yang konsisten tetap menjadi perhatian karena dapat mengganggu stabilitas fiskal.

Dampak pada ekspor

Selain harga minyak, konflik geopolitik juga berdampak pada perlambatan ekonomi global. Ketidakpastian yang berkepanjangan dapat menghambat arus perdagangan, mengurangi permintaan internasional, serta memperlambat pertumbuhan negara mitra dagang utama Indonesia.

Sri Mulyani menegaskan permintaan yang melemah dari negara-negara mitra dagang seperti Tiongkok, India, dan Jepang dapat menurunkan volume ekspor Indonesia. Komoditas utama seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan produk manufaktur berisiko mengalami penurunan permintaan.

Efek jangka panjang, penurunan permintaan dapat berdampak pada neraca perdagangan dan pendapatan devisa nasional.

Tekanan terhadap pasar keuangan dan nilai tukar

Dampak perang Iran-Israel terhadap ekonomi Indonesia juga terhadap pasar keuangan domestik. Konflik di Timur Tengah dapat memicu arus modal keluar (capital outflow). Investor global bisa jadi mengalihkan dana ke aset yang lebih aman seperti obligasi pemerintah Amerika Serikat.

Nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir bergerak stabil pada kisaran Rp16.200–Rp16.300 per dolar AS. Namun, stabilitas tersebut dapat terancam jika ketegangan terus berlanjut dan sentimen pasar global memburuk.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga menunjukkan volatilitas. Meski sempat menguat sebesar 0,54 persen pada 17 Juni 2025, IHSG mencatatkan pelemahan tipis secara mingguan. Ini mencerminkan sikap hati-hati investor dalam merespons kondisi geopolitik yang tidak menentu.

Gangguan jalur minyak global di Selat Hormuz

Selat Hormuz menjadi salah satu jalur laut terpenting untuk perdagangan energi global. Sekitar 30 persen dari total perdagangan minyak dunia melintasi selat ini setiap hari. Sebagian besar minyak dikirim ke negara-negara Asia, termasuk mitra dagang utama Indonesia.

Jika konflik mendorong Iran untuk menutup Selat Hormuz, distribusi minyak global akan terganggu secara signifikan. Volume perdagangan yang sebelumnya mencapai sekitar 20 juta barel per hari hanya dapat dialihkan sebagian kecil melalui jaringan pipa alternatif yang dimiliki oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Gangguan ini berpotensi mendorong harga minyak ke level yang lebih tinggi. Bahkan, harganya bisa mendekati USD100 per barel seperti yang terjadi pada awal konflik Rusia-Ukraina pada 2022. Kenaikan harga minyak dpaat memperburuk neraca perdagangan Indonesia dan berisiko terhadap inflasi domestik.

Pemerintah akan terus memantau

Kementerian Keuangan menegaskan komitmennya untuk terus memantau perkembangan konflik Iran-Israel. Tak terkecuali memantau potensi dampak perang terhadap harga minyak dunia dan stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ketegangan geopolitik yang semakin meningkat menjadi perhatian serius pemerintah.

"Pemerintah terus mewaspadai risiko global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik, dengan menyiapkan langkah-langkah mitigasi awal dan mengoptimalkan peran APBN sebagai peredam gejolak," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro dalam keterangannya yang dikutip pada Senin, (23/6).

Koordinasi antarlembaga juga diperkuat melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri atas Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah ini dilakukan guna memastikan sistem keuangan tetap solid dalam menghadapi ketidakpastian global.

Meski demikian, hingga saat ini, dampak perang Iran-Israel terhadap ekonomi Indonesia masih dalam batas yang terkendali. Stabilitas fiskal tetap terjaga dan kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan proyeksi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ana Widiawati
EditorAna Widiawati
Follow Us